Kamis, 13 November 2008

laporan akhir Geras2006

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Status stateless1 atau tidak memiliki kewarganegaraan yang dilabelkan pada warga Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah dan stereotyping2 yang dilakukan oleh warga pribumi. Secara kronologis, kondisi warga Tionghoa ini merupakan imbas dari kebijakan masa lalu yang mengadopsi warisan kolonialisme yang memang cenderung memojokkan Tionghoa. Sebagaimana yang diketahui, rusaknya harmoni antara Tionghoa dan non-Tionghoa di Indonesia dimulai dari kebijakan Belanda yang menerapkan passenstelsel, yaitu surat jalan khusus bagi tionghoa jika hendak bepergian ke luar distrik mereka tinggal.

Selain itu, Belanda juga menerapkan wijkenstelsel, yaitu sebuah larangan bagi Tionghoa untuk tinggal berbaur dengan masyarakat lokal dan mengharuskan membangun kawasan tersendiri (Pecinan). Ditambah lagi dengan politik devide et impera Belanda, maka terbentanglah jarak antara penduduk Tionghoa dengan etnis lain, yang secara otomatis membuatnya semakin “asing”.

Etnis Tionghoa merupakan kaum marginal dalam masyarakat. Mereka tidak jarang mengalami diskriminasi pada segala aspek kehidupan. Andjarwati Noordjanah dalam bukunya “Komunitas Tionghoa di Surabaya” menengarai bahwa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa hingga kini masih menggejala dan dalam benak penduduk “pribumi” masih tersimpan stereotipe yang memang “sengaja” dibuat sejak berabad-abad silam.3 Sebab, sejarah mencatat, peristiwa-peristiwa politis dan diskriminatif yang terjadi di negeri ini, mulai di masa sebelum kemerdekaan hingga reformasi 1998 selalu menyeret kelompok komunitas ini sebagai korban. Diskriminasi etnis Tionghoa masih terus terjadi, khususnya bagi yang miskin dan tidak memiliki identitas di Surabaya. Mulai dari diskriminasi oleh pemerintah kota dengan adanya pemberlakuan kebijakan “tidak adil” yaitu Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam urusan publik, hingga diskriminasi dalam berpolitik. Seperti diketahui, menurut data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 2005, sekitar 17,52% atau 374.000 orang dari total 2,7 juta penduduk Surabaya, ternyata masih ada yang tidak memiliki kartu tanda penduduk. Selain itu, ada 9,92% atau sekitar 211.000 orang yang tidak memiliki kartu surat keluarga.4 Kebanyakan kasus stateless memang menimpa warga Tionghoa.5 Status stateless yang dimiliki oleh warga Tionghoa miskin secara tidak langsung membatasi aset-aset kehidupan sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum dan politik. Tetapi yang mendasar adalah aspek ekonomi. Sejak 1981, warga Tionghoa didiskriminasi dalam mencari pekerjaan. Sebagaimana termaktub dalam Instruksi Mendagri Amir Machmud No. 32/1981 tentang pembinaan dan pengawasan eks tapol/napol G 30 S/PKI melarang para eks tapol/napol itu bekerja sebagai ABRI atau PNS.6 Warga Tionghoa juga dilarang menjadi anggota parpol, pers, dalang, lurah, lembaga bantuan hukum, dan pendeta. Selain itu, para keluarga (anak-keponakan, bahkan cucu) yang bekerja di pemerintahan dikenai litsus (penelitian khusus) dan harus bersih lingkungan. Parahnya lagi, perlakuan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tapi juga perusahaan swasta dan sebagian masyarakat ‘pribumi’. Keadaan tersebut mengakibatkan sebagian besar etnis Tionghoa tidak bisa bekerja di sektor formal dan hanya dapat bekerja di sektor informal. Hal ini disebabkan karena KTP yang tidak jelas yang sebagai syarat untuk bekerja di sektor formal sebagai identitasnya. Sebenarnya kasus stateless itu tidak perlu terjadi, terlebih bagi warga Tionghoa yang sudah puluhan, ratusan tahun, bahkan sudah bergenerasi lahir, tinggal, bekerja di negeri ini. Pada dasarnya, tidak ada seorang pun yang bisa dianggap stateless. Hal ini dikarenakan setiap orang pasti mendiami suatu negara. Orang tersebut secara de facto layak disebut sebagai warga negara. Langkah yang mungkin efektif adalah dengan mengadakan pemutihan untuk penuntasan masalah ini. Hal ini dikarenakan masalah stateless ini melibatkan cukup banyak orang, pemutihan menjadi satu-satunya solusi yang masuk akal. Adanya pemutihan secara massal, diharapkan nanti tidak akan muncul lagi kasus ini di masa depan. Hal ini dibuktikan pada era BJ Habibie telah dikeluarkan pula Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 1999 yang intinya menegaskan kembali eksistensi Keppres No 56/1996. Dalam bagian pertama butir a (2) disebutkan, “Untuk kepentingan tertentu yang memerlukan bukti kewarganegaraan RI, istri dan atau anak cukup mempergunakan keputusan presiden mengenai pemberian kewarganegaraan suami/ayah atau ibu juga beserta berita acara pengambilan sumpah atau akta kelahiran yang bersangkutan; (3) Bagi warga negara RI yang telah memiliki KTP atau kartu keluarga atau akta kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tersebut cukup menggunakan KTP, atau kartu keluarga, atau akta kelahiran tersebut.”7 Selain itu juga telah dihapus Keppres No.6 Tahun 2000 tentang pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina, Inpres No.26 Tahun 1998 tentang penghapusan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi, dan Keppres No.19 Tahun 2002 tentang ditetapkan hari tahun baru imlek sebagai hari nasional. Hal tersebut tidak hanya menghapus beberapa peraturan tersebut, namun juga diiringi lahirnya UU Kewarganegaraan No 12/2006 yang disahkan DPR pada 11 Juli 2006 dan ditandatangani Presiden SBY pada 1 Agustus 2006. Filosofi atau semangat utama dari UU Kewarganegaraan yang baru itu adalah tidak boleh ada orang yang stateless atau tanpa kewarganegaraan. UU tersebut memang mengakui kesetaraan warga yang lahir di bumi Indonesia atau bukan, tak ada sekat-sekat rasial, dan menjujung kesetaraan. Pembenahan peraturan ini belum sepenuhnya menyentuh pada kehidupan ekonomi etnis Tionghoa. Mereka masih hidup pada taraf hidup rendah dan bertempat tinggal mengelompok dan jarang berbaur dengan masyarakat lokal. Aset ekonomi terutama pekerjaan terbatasi oleh ketidakjelasan status kewarganegaraan atau tidak memiliki KTP. Kondisi ini menyebabkan munculnya berbagai cara untuk bertahan hidup di tengah perekonomian kota. Etnis Tionghoa dituntut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari meski dengan bekerja seadanya. Usaha-usaha pemenuhan kebutuhan ini dalam bahasa sosiologi disebut dengan strategi adaptif. Ketidakjelasan status kewarganegaraan akan mempengaruhi pola bertahan hidup etnis Tionghoa. Peran sebagai Warga Negara Indonesia tidak dijalankan dan hak-hak yang semestinya diperoleh tidak dimilikinya dengan mudah. Maka berdampak langsung pada perekonomian keluarga etnis Tionghoa yang miskin. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Izhar Salim, Arifin Sallatang dan Sanusi Fattah berjudul “Tinjauan Terhadap Faktor-Faktor Pokok Penyebab Kemiskinan Kelompok Etnis Tionghoa Di Kec. Pemangkat Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat” menjelaskan bahwa disimpulkan 2 faktor yang menjadi penyebab kemiskinan pada kelompok etnis Tionghoa di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas, antara lain: dari faktor non-ekonomi yakni dari segi sistem nilai budaya, yang menjadi penyebabnya adalah rendahnya nilai menguasai alam yang pada intinya disebabkan oleh rendahnya penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktor ekonomi yakni dari segi faktor produksi, yang menjadi penyababnya adalah rendahnya atau bahkan tidak memiliki modal sama sekali, lahan yang sempit atau bahkan tidak memiliki lahan sama sekali, dan skill (jiwa kewirswastaan) yang masih belum memadai.8 Lukas S. Musianto dalam artikel penelitian yang berjudul “Peran Orang Tionghoa Dalam Perdagangan Dan Hidup Perekonomian Dalam Masyarakat (Studi Kepustakaan Dan Studi Kasus Tentang Interaksi Etnik Tionghoa Dan Pribumi Di Bidang Perekonomian Di Surabaya)” menjelaskan bahwa fungsi orang Tionghoa dalam dunia perekonomian telah terasa berabad-abad yang lampau. Fungsi ini erat berhubungan dengan jati diri suatu wirausaha di bidang perekonomian. Selain itu konteks interaksi sosial budaya dan politis yang telah berabad-abad lamanya, akan mengkristal memupuk jati diri seorang Tionghoa di tanah air dan masyarakat besar Indonesia. Barang tentu ini bersifat positif atau pun negatif bagi suatu komunitas tertentu. Suatu contoh dengan aplikasi pada interaksi etnis di Surabaya, melengkapi pemikiran kontekstual ini. Proyeksi untuk menanggulanginya menjadi tugas bersama pada aspek perekonomian bangsa antara masyarakat dan pemerintah. 9 Strategi adaptif etnis Tionghoa ini juga mengambil referensi dari penelitian yang dilakukan oleh Ali Paryono yang berjudul “Strategi Adaptif Siswa Tionghoa Di Tengah Komunitas Lokal SMAK Santo Yusup Surabaya” yang menggunakan teori definisi konsep, strategi adaptif, labeling, rational choice, identitas sosial serta in-group dan out-group, menggunakan metode kualitatif pendekatan etnografi menerangkan bahwa siswa keturunan Tionghoa Peranakan sebagai minoritas di SMAK Santo Yusup Surabaya. Mereka mendapatkan perlakuan diskriminasi, stereotype, deteminasi dan mengalami xenophobia10 terdapat etnis Jawa sehingga mereka hanya sebagai pupuk bawang. Dengan sebagai minoritas, siswa-siswa ini mendapat tekanan dalam bentuk penyematan label, label-label tersebut membuat siswa-siswa Tionghoa baik lokal maupun Manado merasa terinjak harga diri. Cilox dan Cindo yang dilabelkan pada siswa Tionghoa baik lokal dan luar tersebut melahirkan strategi adaptif untuk dapat bertahan hidup dan beradaptasi di lingkungan mayoritas lokal. Strategi adaptif tersebut juga dimaksudkan untuk memperoleh pengakuan (recognitik) dan persamaan sosial (social equality) sama seperti komunitas lokal.11


B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Adakah pengaruh status stateless terhadap pola bertahan hidup etnis Tionghoa?


C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh status stateless terhadap pola bertahan hidup etnis Tionghoa.


D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah: Pertama, bagi pemerintah, agar lebih memperhatikan nasib dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan mutu hidup etnis Tionghoa. Kedua, menguji teori-teori sosiologi yaitu teori mengenai status dan peran serta teori strategi adaptif untuk menganalisis fenomena sosial.

BAB II: TINJAUAN TEORITIS

A. Teori Kelas Karl Marx

Ada beberapa unsur dalam teori kelas Karl Marx yang perlu diperhatikan,12 yaitu: Pertama, tampak betapa besar peran segi struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas. Pertentangan antara buruh dan majikan bersifat obyektif karena berdasarkan kepetingan obyektif yang ditentukan oleh kedudukan mereka masing-masing dalam proses produksi. Kedua, karena kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh secara obyektif bertentangan, mereka juga akan mengambil sikap dasar yang berbeda terhadap perubahan sosial. Kelas pemilik dan kelas-kelas atas pada umumnya mesti bersikap konservatif, sedangkan kelas buruh dan kelas-kelas bawah pada umumnya akan bersikap progresif dan revolusioner.

Unsur ketiga adalah setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi. Kepentingan kelas bawah yang sudah lama ditindas mendapat angin, kekuasaan kelas penindas mesti dilawan dan digulingkan. Apabila kelas bawah bertambah kuat, kepentingannya akan mengalahkan kepentingan kelas atas, jadi akan mengubah ketergantungannya dari para pemilik dan itu berarti membongkar kekuasaan kelas atas. Marxisme yakin bahwa semua reformasi dan usaha perdamaian antara kelas atas dan kelas bawah hanya menguntungkan kelas atas karena mengerem perjuangan kelas bawah untuk membebaskan diri.13

Menurut Marx, negara bukanlah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Dalam perspektif Marx, negara termasuk lawan, bukan kawan, karena diangap selalu merupakan negara kelas yang mendukung kepentingan-kepentingan kelas-kelas penindas.14


B. Gerakan Sosial Dalam Perspektif Pertukaran

Gerakan sosial dalam perspektif Marx adalah sama halnya dengan gejala alam, sesuatu itu adalah proses aksi dan reaksi. Bila ada aksi, maka ada reaksi.15 Begitu pula dengan gerakan sosial, kondisi-kondisi di luar individu dan komunitas yang dirasakan sama akan menimbulkan reaksi dengan membentuk gerakan sosial. Namun demikian, kondisi-kondisi itu tidak serta merta menghasilkan gerakan sosial. Ketidaksetaraan, ketidakadilan dan masalah-masalah sosial itu harus diperpektifkan secara sama oleh individu dan masyarakat. Bila tidak, maka tidak terjadi gerakan sosial. Demikian pula, kondisi-kondisi yang mendukung atau menolak terjadinya reaksi harus pula diperspektifkan secara sama pula.
BAB III:METODE PENELITIAN

  1. Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tujuan untuk mendeskripsikan latar dan interaksi yang kompleks dari partisipasi secara mendalam. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi yaitu penelitian yang memahami makna suatu fenomena secara lebih mendalam dan menyeluruh. Fenomenologi juga dapat diartikan sebagai pengalaman subjektif, suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok seseorang.

Alasan metodologis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pertama menyesuaikan metode kualitatif ini lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, kedua metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara penelitian dengan informan, ketiga metode ini lebih peka dan dapat menyajikan diri dengan baik penajaman pengaruh bersama dan pola-pola nilai yang dihadapi.16


  1. Lokasi dan Waktu Penelitian

P

11

enelitian ini mengambil lokasi di YLA (Yayasan Lintas Agama/FLA) Jl. Gayungsari Barat VI No.3 Surabaya. Adapun alasan metodologis untuk menentukan LSM tersebut karena menangani masalah diskriminasi etnis Tionghoa dan berhubungan dengan penelitian teori-teori yang akan diteliti oleh peneliti untuk memenuhi Mata Kuliah Gerakan Sosial. Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 19 Oktober-1 November 2008 selama 2 minggu.


  1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian atau dalam penelitian kualitatif lebih dikenal dengan istilah informan diambil dari para pengurus dan anggota YLA Surabaya. Subjek tidak ditentukan sebelumnya dan dari mana atau dari siapa memulai tidak menjadi persoalan karena pemilihan bergantung pada keperluan peneliti.17 Beberapa orang akan diambil sebagai subjek baik untuk diobservasi maupun untuk diminta keterangan melalui wawancara.


D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti pemanfaatan data primer. Pemanfaatan data primer dibagi menjadi dua yaitu observasi dan wawancara. Pertama adalah teknik observasi atau pengamatan, dimana teknik ini dilakukan pertama kali pada penelitian ini. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan pengamatan terhadap perilaku sosial yang dilakukan oleh subjek penelitian.

Hal pertama yang dilakukan pada proses pengamatan ini adalah datang ke daerah penelitian, kemudian peneliti mengambil foto tentang daerah penelitian. Pada proses pengamatan ini juga membedakan dan memilih subjek penelitian, proses inilah yang membantu peneliti untuk menetapkan subjek penelitian yang nantinya akan dilakukan proses selanjutnya, yaitu proses wawancara. Indeepth interview adalah teknik yang kedua, merupakan bentuk wawancara secara mendalam mengenai masalah yang akan diteliti agar memperoleh kedalaman, kekayaan dan kompleksitas data. Dalam melakukan indeepth interview, peneliti akan melakukan hal-hal sebagai berikut : (1) Getting In, berupa adaptasi peneliti agar bisa diterima dengan baik oleh subjek penelitian. Dalam proses ini peneliti diharapkan dapat menciptakan situasi nonformal atau kekeluargaan sehingga peneliti dapat mengupayakan untuk menciptakan kepercayaan trust terhadap subyek penelitian. Apabila kepercayaan trust sudah tercipta maka akan sangat mudah bagi peneliti untuk menggali informasi sedalam-dalamnya dari informan. (2) Setelah trust terbentuk, peneliti harus menjaganya dengan melakukan beberapa hal, diantaranya berperilaku dan berpenampilan sama seperti subjek penelitian. Jika kedua hal tersebut di atas dapat berjalan dengan baik maka tercipta rapport yaitu nilai yang diberikan dari subjek penelitian, terhadap peneliti sehingga informasi dapat dengan mudah diperoleh.

Untuk lebih mudah mendapatkan subjek penelitian, langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti adalah mencari key informan atau informasi kunci. Key informan dari penelitian kali ini adalah “Mas Yanto” merupakan salah satu pengurus dari FLA, dari key informan tersebut peneliti memperoleh informasi mengenai kondisi sosial subjek atau informan yang akan diteliti, setelah itu key informan diharapkan dapat menunjuk subjek penelitian atau informan lain yang mempunyai keadaan sama untuk membantu memberikan informasi yang dibutuhkan dan hal tersebut diberlakukan untuk mencari informan selanjutnya.

E. Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan oleh peneliti adalah fenomenologi. Fenomenologi merupakan salah satu metode analisis teknik kualitatif. Dalam fenomenologi Alfred Schutz manusia membawa serta di dalam dirinya peraturan-peraturan, resep-resep tentang tingkah laku yang tepat, konsep-konsep, nilai-nilai dan lain-lain yang membantu mereka bertingkah laku secara wajar di dalam dunia sebuah dunia sosial. Scuterz melihat keseluruhan peraturan, norma, konsep tenteng tingkah laku yang tepat, dan lain-lain sebagai “stoc pengetahuan yang tersedia ditangan”. Stoc pengetahuan ini memberikan kerangka refrensi atau orientasi kepada sesuatu yang terjadi di sekitarnya sebelum mereka melakukan sesuatu.18

Langkah-langkah yang akan dilakukan adalah membaca kembali hasil yang telah diperoleh dari lapangan, setelah itu data dikategorikan ke dalam aspek-aspek yang telah dikemukakan. Setelah dikategorikan, data yang ada dikaitkan dengan teori yang ditulis di Bab II. Langkah selanjutnya adalah berdiskusi dengan kelompok tentang data yang diperoleh untuk menentukan pokok permasalahan yang harus dimasukkan ke dalam laporan penelitian. Sehingga mampu menemukan istilah-istilah baru dalam masalah-masalah sosial yang diteliti, kemudian peneliti akan menemukan serta memahami makna yang sebenarnya dari permasalahan itu dan setelah itu peneliti akan merumuskan hasil penelitian dengan menceritakan proses dari penelitian dan membuat laporan penelitian.


BAB IV: TEMUAN DAN ANALISIS DATA

1. Latar Belakang

Yayasan Forum Lintas Agama (FLA) Jawa Timur dilahirkan dari konstruksi sosial-budaya-keagamaan yang cukup panjang. Walaupun secara de jure, usia Yayasan FLA Jawa Timur memang relatif muda (2001), tetapi secara de facto, Yayasan FLA telah ada cukup lama. Tepatnya pasca tragedi Situbondo (1996). Pada saat itu terjadi konflik horizontal antar umat beragama yaitu Islam dan Kristen. Dalam tragedi itu tercatat setidaknya 8 gereja terbakar, dan seorang pendeta beserta keluarganya meninggal dunia setelah sekelompok massa membakar tempat tinggalnya. Secara tidak langsung konflik Situbondo tersebut membawa hikmah tersendiri bagi bertemunya berbagai tokoh agama sekaligus menjadi embrio lahirnya Yayasan Forum Lintas Agama Jawa Timur (YFLA).


2. Sejarah Lahirnya YFLA Jatim

Pertama, secara umum, para tokoh agama di Jawa Timur telah berhasil mengembangkan budaya dialog agama-agama yang belum pernah ada sebelumnya. Model forum-dialog yang telah berjalan memang telah relatif mapan. Namun, budaya dialog agama-agama seharusnya tidak hanya terbatas pada tingkat elite saja. Justru, yang lebih penting adalah, bagaimana mentransformasikan budaya dialog ini di tingkat akar rumput. Sebab, dalam banyak kasus, konflik politik sering kali muncul dengan menggunakan sentimen agama. Ujung-ujungnya, sebagai trigger-of-nya adalah kelompok grass-root tadi. Untuk ini diperlukan kelembagaan dan tim yang kuat.

Kedua, Persoalan kesenjangan sosial, ekonomi, budaya, politik dan lainnya, tidak cukup hanya dilakukan dan diselesaikan melalui forum dialog saja. Disamping perlu adanya program-program karitatif juga perlu adanya program-program komprehensif dan simultan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan riel diatas.

Ketiga, perlu sistem managemen dan administrasi kerja yang lebih profesional dan sistematis. Maka, realitas ini menuntut sebuah wadah formal yang secara normatif hukum diakui.

Maka, atas dasar kebutuhan di atas, pada tanggal 27 Maret 2001, para tokoh agama mendeklarasikan dibentuknya wadah bersama secara legal-formal yang diberi nama; Yayasan Forum Lintas Agama (FLA) Jawa Timur.


3. Visi dan Misi

Visi Yayasan Forum Lintas Agama (FLA) Jawa Timur adalah terciptanya tata kehidupan masyarakat yang harmonis, rukun, damai dalam iklim kebersamaan dan keberagaman antar suku, agama dan ras di jawa Timur.

Misi Yayasan Forum Lintas Agama (FLA) Jawa Timur adalah sebagai berikut.

  1. Meningkatkan kesadaran masyarakat menuju relasi yang penuh kebersamaan dan keragaman antar suku, agama dan ras di Jawa Timur melalui pendidikan dan penguatan masyarakat berbasis agama.

  2. Memperkuat organisasi-organisasi interfaith dan kelompok-kelompok agamawan strategis dalam memperjuangkan keharmonisan dalam iklim kebersamaan dan keberagaman antar suku, agama dan ras di Jawa Timur

  3. Melakukan kajian dan pemberdayaan di bidang pluralisme agama, suku dan ras di Jawa Timur.

  4. Mengembangkan jaringan antar LSM-LSM interfaith di Jawa Timur dalam rangka penyebaran informasi tentang kemajemukan (pluralisme) di Jawa Timur


4. Sumber Dana

Funding resources yang selama ini mensupport program-program FLA dapat dikatagorikan dalam (1) Funding lokal (Bakesbang, Biro Kesra Pemprov. Jawa Timur) dan (2) Funding Internasional (Catholic Relief Service/CRS, Yayasan TIFA, Common Ground/CGI, dan Patnership for Government Reform).


5. Program-Program Strategis

  1. Program Peace Building (PB) (Program ini berkonsentrasi pada pengembangan konsep dan kerja-kerja perdamaian, khususnya perdamaian berbasis local community)

  2. Program Capacity Building (CB) (Bertujuan untuk meningkatkan kapasitas lembaga dalam melaksanakan program-program pelayanan kepada masyarakat sesuai basis isu masing-masing)

  3. Program Desiminasi Pluralisme (Diupayakan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai nilai pluralisme)

  4. Program Pendidikan Multikultural (Difokuskan pada upaya peningkatan pemahaman masyarakat mengenai keberagaman yang ada di masyarakat)

  5. Program Penguatan Kesetaraan Gender Berbasis Agama (Program ini bertujuan untuk ikut serta membongkar bias pemahaman mengenai hubungan laki-laki dan perempuan yang ada di masyarakat berbasis agama) Program Advokasi (Menetapkan advokasi pada kasus diskriminasi kebijakan atas hak warga dalam kebebasan beragama)


Susunan Pengurus Yayasan FLA Jatim

Dewan Board

Koordinator : Dr KH Ali Maschan Moesa,MSi.

Anggota : Romo Eko Budi Susilo, Pr.

Pdt. Simon Filantropha.

Alip Tojo,

Irwan Pontoh.

I Wayan Suwarna.

Gatot S. Santoso.

Basuki



Dewan Eksekutif

Direktur : Drs. A. Rubaidi, MAg.

Wadir : Mashuri, MA.

Keuangan : Ely Rosidah, MPd

Divisi-divisi

Capacity Building : Yeni Lutfiana

Peace Building : Tri Pitono Adiprabowo, SE

Advokasi : Mohammad Sholeh, SH

Gender : Amin Hasan, M.Pd.

Data & Informasi : Ali Maskyur, M.Pd.


6. Isu Politik

Isu politik awalnya berkembang pada permasalahan kewarganegaraan. Pada awalnya permasalahan kewarganegaraan bukan suatu masalah bagi negara. Sebelum Indonesia merdeka ada hukum negara yang disebut sebagai “Hukum Kaula Negara” (Hak Residu Pasif), pada saat itu hukum kewarganegaraan terbuka bebas, persyaratan menjadi warga Negara cukup mengakui “saya sebagai WNI” dengan berkata demikian maka sudah menjadi WNI.

Pada zaman Reformasi etnis Tionghoa sudah dapat pengakuan dari pemerintah, tetapi itu hanya formalitas. Buktinya sampai sekarang banyak yang belum mendapat pengakuan dari pemerintah. Misalnya dalam pengurusan surat-surat, selalu dipersulit. Pemerintah sudah mengesahkan dan UU pun sudah dibuat tetapi kebawahnya belum terealisasi secara tepat dan benar. Mereka dipersulit oleh birokrasi Negara.

Selain itu permasalahn Etnis Tionghoa yang paling banyak yaitu permasalahan dalam pengakuan kependudukan. Negara tidak memberikan kartu kependudukan kepada kebanyakan Etnis ini karena sulitnya mengurus mulai dari RT sampai Pemkot. Dalam mengurus kartu identitas atau KTP setidaknya mempunyai Surat Migrasi, Paspor, atau surat yang memperkuat keberadaan mereka. Padahal mereka sudah tinggal di Indonesia sudah dari kakek buyut mereka sekitar sebelum zaman kemerdekaan. Sehingga mereka binggung jalan memperoleh identitas ini dari mana. Mereka mengakui dirinya sebagai warga Indonesia, hanya saja mereka berasal dari Etnis Tionghoa sehingga mayoritas dari mereka beragama Konghucu yang di Negara Indonesia agama ini tidak diakui. Negari Indonesia hanya mengakui 5 Agama (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha), tetepi di Fla mengakui 9 Agama/Kepercayaan (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu, Aliran Tao, Kristen Jendela, dan Aliran-aliran kepercayaan). Agama / kepercayaan itu urusannya dengan tuhan, maka sebagai manusia sebenarnya tidak pantas mengatur-ngatur orang dalam beribadah.

Pada intinya permasalahan yang dihadapi oleh Etnis Tionghoa yaitu: 1) Negara tidak mengakui keberadaan mereka, 2) Sistem yang tidak dibangun dalam aparat-aparat birokrat. Maka fungsi dari keberadaan Fla yaitu mempengaruhi pemerintah, menemani mereka dalam pengurusan surat-surat, sosialisasi yang di manapun (media), memotifasi mereka agar tidak mudah putus asa, mengalokasi ke undang-undang.

Aparat birokrat juga ikut mewarnai adanya isu politik dalam masalah stateless masyarakat Tionghoa. Bagi orang Tionghoa yang kaya hal ini tidak bermasalah, mereka bisa membeli aparat birokrat untuk membuatkan kartu identitas. Mereka bisa membayar sekian juta untuk mendapatkan kartu identitas.

Selama ini dalam permasalahn perkawinan antar Etnis Tionghoa tidak ada permasalahan, hanya saja mereka sering dianggap sebagai pasangan kumpul kebo oleh masyarakat, karena tidak memiliki bukti pernikahan yang sah. Mereka sulit mendaftarkan bukti pernikahan mereka di kantor agama. Karena agama dari mereka kebanyakan Agama Konghuchu. Maka tidak jarang dari mereka harus rela merubah agamanya, yang aslinya Konghucu manjadi agama-agama yang lain demi mendapatkan kartu identitas dan pernikahan mereka dapat dicatat di kantor agama sesuai dengan agama yang dipilih. Sering sekali kita jumpai banyak sekali orang tionghoa yang mudah sekali berganti-ganti agama, karena mereka sendiri juga sadar kalau mereka hanya etnis minoritas yang berada di tengah masyarakat mayoritas.


7. Ideologi dan Model Gerakan

Ideologi yang dijunjung tinggi oleh FLA adalah (kebersamaan, menghargai kebebasan dan keragaman, program perdamaian). Tokoh yang berpengaruh dalam gerakan FLA ini adalah Karl Marx dan Clifford Geertz.

Model gerakan yang dijalankan FLA dalam menangani permasalahan disriminasi etnik Tonghoa antara lain melalui diskusi dengan pemerintah, kegiatan-kegiatan yang melibatkan lintas agama dan publikasi media massa. Misalnya dulu pernah ada kasus tentang kepemilikan KTP yang dimiliki oleh Etnis Tionghoa, dia bernama Pak Anliy. Dia merupakan aktifis, yang menuntut haknya sebagai warga Indonesia. Dia berjuang sendiri secara diam-diam membuat KTP, kemudian dia mendapatkannya. Setelah dia mendapatkannya kemudian bicara lewat media cetak/elektronik kalau dia sudah mendapatkan KTP dari pemerintah.Tentu saja Etnis Tionghoa yang lain iri melihat hal ini, mereka menuntut pemerintah untuk bersikap adil, kemudian tindakan yang dilakukan pemerintah adalah menarik kembali KTP yang dimiliki Pak Anliy. FLA ikut membantu dengan cara menjadi tim advokasi Anliy untuk mendesak pemerintah untuk mengembalikan KTP yang disita. Awalnya melalui diskusi dengan pemerintah, tapi tidak menemui jalan tengahnya, maka FLA mengambil langkah untuk mempublikasikan kasus ini lewat media massa Surya. Langkah ini agar masyarakat tahu dan menghimpun dukungan untuk Anly.

Sebenarnya dalam pengurusan kartu tanda penduduk oleh para birokrat rawan sekali terjadi komersialisasi. Karena tidak segan-segan mereka mengambil keuntungan dari bisnis ini. Sebagai wakil Negara yang baik, hendaknya bisa memfasilitasi warganya dengan berbagai macam kemudahan, sehingga tidak sampai memprofokasi pemerintahan. Mental birokrasi yang susah diajak berubah membuat mudahnya terjadi hal-hal yang bertentangan dengan UU yang suda ditetapkan oleh pemerintah.

Jika melihat secara kuantitatif jumlah diskriminasi etnik terhadap Etnik Tionghoa selalu meningkat. Sebenarnya Etnik yang berada di Indonesia ini tidak hanya Etnik Tionghoa, tetapi masih ada Etnik Arab dan India. Hanya saja mereka tidak mempunyai permasalahan dengan pemerintah, minimal jaranglah.

Sebenarnya hal yang dituntut oleh Etnis Tionghoa yaitu status sebagai kewarganegaraan (WNI). Kebanyakan dari mereka adalah masyarakat urban, yang sudah 4 keturunan. Sehingga sulit sekali melacaknya. Di Negara asal (Cina) mereka tidak diakui, sedangkan di Negara Indonesia juga tidak diakui, hanya permasalahan kartu tanda penduduk.

Jika melihat dari latar belakang sejarah sebenarnya mereka berasal dari Etnis Mancuria, yang berdagang ke Indonesia bersama dengan Etnis Arab, India dll. Etnis-etnis ini bertahan dari zaman kolonial Belanda sampai sekarang. Proses agama yang selalu dinamis mengikuti perkembangan manusia yang membuat banyak bermunculan agama-agama baru, sehingga sering menimbulkan diskriminasi di masyarakat. Adanya sentimen status budaya yang membuat mereka menjadi klompok minoritas.

Pengertian gerakan social sendiri dibagi menjadi dua yaitu gerakan social baru dan gerakan social lama. Yang dimaksud dengan gerakan sosial itu adala gerakan yang menyebabkan perubahan dari bawah menuju keatasa, sedangkan gerakan social lama ergerak pada wilayah atas saja atau bisa dikatakan sebagai anti globalisasai. Misalnya seperti ilmu “satu potong jerami” maksud dari ilmu ini adalah sepotonh jerami bisa membuat dirinya menjadi subyek yang mau bicara dulu, dalam hal ini seperti Etnis Tionghoa yang berasal dari golongan kecil atau termajinalkan bisa menjadi subyek yang mengakui keberadaannya, mau berbicara kepada orang lain, terbuka pada siapa saja. Untuk mewujudkan hal ini sangat sulit sekali mereka merasa kecil dan tidak berarti. Dengan menjadi subyek yang berani ngomong, mereka dapat menghadapi masalah yang diluar dengan kekuatannya, berani membantah. Kemudian berani melapor ke Dispendug, ke Imigrasian, sampai uji material yang ditetapkan oleh perda Th 1997.

Di dalam Etnis Tionghoa ikatan primodial antar masyarakatnya sangat bertolak, minim sekali. Kebanyakan dari mereka cuek. Sehingga banyak menimbulkan klas-klas dalam golongannya seperti : 1)Midermen (klas-klas) yang mempunyai akses politik atau kekuasaan, ada juga yang menduduki kursi parpol, tentunya mereka yang kaya. 2) Ada juga yang miskin tapi mempunyai akses, tapi akses ini juga terbatas saja. 3) Ada yang miskin, status kewarganegaraan (stateless) sulit mendapatkan persyaratan yang tidak mungkin terpenuhi, karena ribetnya birokrasi dan kurangnya biyaya. Diselesaikan seperti apapun tidak mungkin, karena paying hokum yang belum jelas sampai detik ini.

Beberapa prosedur yang harus dipenuhi dalam pengurusan KTP bagi warga Etnis Tionghoa dimulai dari mempunyai KITAP (Kartu Ijin Tetap), KITAS (Kartu Ijin Sementara), PASPOR, Surat Keterangan Lapor Diri (dari RRC) Sedangkan dari pihak RRC saja sudah tidak mengakui mereka sebagai warga penduduknya, sehingga mereka kebingungan memulai dari mana, selain itu juga biyaya untuk menembus mendapatkan surat-surat ini mahal sekali,Sedangkan makan saja da syukur, bagi yang miskin.

Sebenarnya dari pemerintah sudah mengeluarkan UU 3258-No 12 Th 2006. Tentang naturasi anak (perkawinan), pasti butuh Akte Nikah, sebelumnya harus punya KTP. Naturasi istri atau suami, kecuali mereka pindaha agama. Juga ada Perda No 2 Th 1997, tentang warga pemikim, sekarang sudah ganti Siat (Sistem Administrasi Kependudukan), tapi cumak buat WNI saja, sedangkan WNA masih belum jelas.

Sebenarnya tugas dari Gersos yaitu mampu menjadi subyek yang mau berbicara, minimal itu dululah, kemudian mampu mengungkapkan ketidak mampuannya, sehingga orang-orang yang berada disekelilingnya menjadi tau apa yang sebenarnya dia rasakan sebagai Etnis Minoritas, ditengan Etnis Mayoritas. Jika mencari mereka, Kebanyakan berada di daerah kota-kota tua yang berada dipesisir pantai, berada ditengah masyarakat urban, seperti di daerah Tambak Sigaran, Pasar Kembang, Genteng. Mereka kebanyakan menetap di daerah ini karena takut kena operasi, kemudian dideportasi, sedangkan didaerah seperti itu hamper tidak pernah terjadi pemeriksaan, karena masyarakat yang bertempat di sana kebanyakan masyarakat urban, yang dekat denga pabrik, atau pasarr-pasar, pemukiman kumuh, rumah padat penduduk. Sehingga dengan membaur mereka dapat tinggal aman di Indonesia, hal ini merupakan siasat mereka untuk tidak kena deportasi. Hal ini merupakan bentuk resistensi mereka. Jikapun sampai dideportase, mereka harus dideportase kemana RRC juga tidak mengakui mereka sebagai warganya, Indonesia juga. Fenomena ini sesuai dengan konsep Clifford Geertz dalam buku Santri, Abangan, Priyayi. Karena stateless mereka menjadi liar, maksudnya menjadi pribumi Jawa, tinggal dikampung kumuh, rumah padat, pasar, menjadi orang jawalah, sehingga mereka sudah tidak kelihatan seperti Etnis Tionghoa, ya seperti orang pribumi tulen.

Sejauh ini warga pribumi kota tidak melakukan resistensi terhadap Etis Tionghoa, padahal kebanyakan yang menguasai perekonomian di Negara ini Etnis Tionghoa, tapi ini tidak semua ada orang Cina yang baik tapi (brengsek), ada juga yang baik tapi nasip yang kurang baik, sehingga kita melakukan pendampingan terhadap etnis minoritas ini. Sebenarnya yang paling dominan etnis yang berada di Indonesia ini adalah Arab, Cina, India tetapi yang sering mendapatkan masalah selalu etnis Tionghoa.

Pernah terjadi konflik antara Etnis Tionghoa lapisan atas dengan lapisan bawah. Orang yang yang berada dilapisan bawah bekerja sebagai buruh di toko orang Cina yang berada dilapisan atas. Orang Cina miskin protes terhadap orang Cina kaya, karena upah yang diterimanya tidak wajar, lebih rendah dari upah pribumi yang lainnya. Bagi orang Cina kaya beranggapan, bahwa dia memperkerjakan warga ilegal tanpa status yang jelas, maka orang Cina miskin tidak bisa melawan hanya pasrah dengan nasip. Padahal mereka satu nenek moyang, tapi bagi warga Cina kaya yang penting dia untung dulu.

Sebenarnya akar permasalah ini berasal dari kesalahan Etnis Tionghoa Kaya. Mereka selalu menggunakan uang dan kekuasaan untuk melakukan pelanggaran. Apalagi mental birokrat yang mudah sekali dibeli, jadi klop/pas sudah. Menyogok sana-sini, secara tidak langsung hal ini mempraktekkan diskrisminasi. Maka dalam benak kita selalu beranggapan orang cina itu kaya suka nyogok. Padahal orang Cina miskinlah yang menerima akibat dari orang Cina kaya.

Latar belakang sejarahnya seperti ini, jika melihat kebelakang pada awalnya permasalahan kewarganegaraan, bukan suatu masalah bagi Negara. Sebelum Indonesia merdeka ada hukum Negara yang disebut sebagai “Hukum Kaula Negara” (Hak Rediu Pasif), pada saat itu hukum kewarganegaraan terbuka bebas, persyaratan menjadi warga Negara cukup mengakui “saya sebagai WNI” dengan berkata demikian maka sudah menjadi WNI. Hal ini serupa dengan Cina.

Pada tahun 1958 UU Kewarganegaraan Indonesia berubah menjadi Asas Iusoli (keturunan) dan Asas Saunginis (kelahiran). Jika sudah berumur 18 Th maka sudah bisa dikatakan sebagai WNI. Jika warga asing segera melakukan Naturalisasi. Pada perjajian Gestapo (Gerakan 30 September) terjadi perjajian antara dua Negara ini (Cina dg Indonesia). Maka sejak saat itu hubungan Indonesia dengan Cina menjadi memburuk dan tidak mengakui warga Cina yang tinggal di Indonesia. Mulai sebelum merdeka Th 58 kemudian Th 65 (Orba) sampai sekarang, maka otomatis dokomen-dokomen itu praktis mati, hilang. Karena terjadi berbagai maam perubahan dalam proses Kependudukan. Bagi orang Cina yang stateless, otomatis dia tersingkir dari sektor formal, yang membutuhkan KTP, KK dan lain-lain. Sekolah negeripun juga tidak bisa menampung mereka, hanya beberapa sekolah yang bisa mnampung mereka.

Masyarakat Tionghoa selama menjadi teralienasi karena sampai sekarang orang Tionghoa tidak mempunyai hak kewarganegaraan padahal etnis Tionghoa tersebut tingal di Indonesia sudah turun temurun. Adanya ketimpangan kebijakan pemerintah kepada Etnis Tionghoa tersebut mengakibatkan etnis Tionghoa merasa terasing. Seperti yang diungkapkan Mas Amien (32):

“Jika melihat secara kuantitatif jumlah diskriminasi etnik terhadap Etnik Tionghoa selalu meningkat. Sebenarnya Etnik yang berada di Indonesia ini tidak hanya Etnik Tionghoa, tetapi masih ada Etnik Arab dan India. Hanya saja mereka tidak mempunyai permasalahan dengan pemerintah, minimal jaranglah. Sebenarnya hal yang dituntut oleh Etnis Tionghoa yaitu status sebagai kewarganegaraan (WNI). Kebanyakan dari mereka adalah masyarakat urban, yang sudah 4 keturunan. Sehingga sulit sekali melacaknya. Di Negara asal (Cina) mereka tidak diakui, sedangkan di Negara Indonesia juga tidak diakui, hanya permasalahan kartu tanda penduduk.”


Oleh karena itu, etnis Tionghoa mengadakan tuntutan kepada pemerintah untuk memperjuangkan nasib dan masa depan anak cucunya. Salah satu contohnya yaitu Etnis Tionghoa ingin supaya dia diakui sebagai warga negara Indonesia. Menurut Marx dalam ideologi.19 Marxisme ortodoks alienasi diri mendapat pengesahan diri dan mengenali kuasanya sendiri dalam alienasi; ia mempunyai inti kewujudan manusia, sambil kelas proletariat merasai dirinya dibinasakan oleh alienasi diri sendiri; ia melihat dalam itu sifat tidak berkuasanya dan realiti kewujudan tidak berperikemanusiaan.20 Marx tidak menolak ide sifat manusia sendiri, bahawa keperluan untuk berusaha untuk mengubah alam sekitar untuk memenuhi keperluan-keperluan manusia merupakan satu-satunya ciri dalam setiap masyarakat.21 Marx mengutarakan bahwa Manusia selalu berproses dinamik melalui masa manusia mengubahkan dan membentukkan dunia yang dia menginapi dan mendesak dirinya untuk mereka dan mencipta. Marx menekan fakta ini: “Masyarakat tidak terdiri daripada individu-individu; ia meluahkan jumlah ikatan dan hubungan di mana individu-individu menjumpai diri mereka.” Umat manusia berkaitan dengan dunia fisikal melalui tenaga pekerja; melalui tenaga pekerja, umat manusia sendiri berubah dan tenaga pekerja adalah punca hubungan-hubungan manusia dengan satu sama lain. Maka, apa yang berlaku kepada proses bekerja mempunyai pengaruh penentuan pada seluruh masyarakat.

Perjuangan etnis Tionghoa juga dipengaruhi oleh media massa. Buktinya banyak etnis Tionghoa meminta pengakuan kewarganegaraan setelah salah satu orang etnis Tionghoa memperoleh pengakuan kewarganegaraan dari pemerintah Indonesia. Hal ini berdasarkan pernyataan Mbak Sha-sha (27) sebagai berikut: “Hal yang dilakukan Fla untuk membantu para etnis tionghoa adalah selalu mendesak pemerintah dengan memuat beritanya sampai kemedia massa, agar berita ini dapat sampai ketelinga pemerintah, melakukan diskusi-diskusi dengan Negara-negara yang mempunyai permasalahan yang sama seperti Indonesia (India, Itali, Spanyol dll).”

Menurut teori pengaruh komunikasi massa individu-individu dipercaya secara langsung dan sangat dipengaruhi oleh pesan-pesan media. Media dianggap sebagai alat yang bisa membentuk opini publik. Begitu juga perilaku itu bergantung pada proses reproduksi motorik. Motivasi bergantung pada penguatan (reinforcement). Menurut Bandura, ada tiga macam penguatan yang dapat memotivasi individu untuk bertindak, yaitu penguatan eksterna (external motivation), penguatan karena orang lain (vicarious motivation) dan penguatan diri sendiri (self motivation).22 Penguatan eksternal merupakan ganjaran yang diperoleh seseorang terhadap apa yang telah dilakukan. Penguatan karena orang lain yaitu pengutan perilaku karena adanya pengamatan perilaku orang lain yang melakukan perbuatan tertentu dan diperkuat oleh tindakan tertentu. Menurut Bandura perilaku manusia merupakan hasil dari faktor lingkungan dan faktor kognitif.

Proses dialektik antara etnis Tionghoa dengan struktur dapat dipahami melalui teori "strukturasi" Giddens daiam konteks agent dan struktur social. Kesadaran atau pola pikir individu bukanlah sesuatu yang tertutup dan terlepas dari struktur yang disadari, tapi kesadaran yang mengarah dengan melibatkan objek. Demikian pula tindakan etnis Tionghoa sebagai “agency” selalu mengandalkan keterlibatan struktur sosial. Tindakan sosial tidak pemah terlepas dari struktur sosial, struktur dalam konteks tindakan sosial, dengan demikian, berperan sebagai sarana dan sumber daya “resources” bagi tindakan sosial, yang kemudian membentuk sistem dan institusi social.

Tindakan etnis Tionghoa sukar dipisahkan dari politik kekuasaan. Eksistensi kekuasaan tidak mungkin bertahan tanpa ada agen. Kekuasaan dapat mengubah medan kecendekiawan dan sebaliknya, cendekiawan juga dapat mengubah kekuasaan itu sendiri. Menurut pengakuan Akhol (30) sebagai berikut:

“Pada saat itu UU Kewarganegaraan Belanda dibagi atas tiga bagian: Belanda (kulit putih), Asia (Cina), dan Bumiputra. Hal ini oleh Belanda sengaja dirumuskan. Orang Asia / yang berada diposisi tengah dijadikan komoditi atau perantara (makelar) antara pribumi dengan kulit putih. Buktinya sampai saat ini di kawasan Ampel sana terdapat kampong Peticina, arab, pribumi. Hal ini bertujuan sebagai kepentingan politik dari pemerintah semata. Jika antar etnis ini dikumpulkan disuatu kampong maka tidak mungkin ada perlawanan untuk Negara. Dalam hal ini ras yang selalu menjadi korban selalu cina. Kasusu pembantaian terbesar yang trjadi di Indonsia yaitu Etnis Tionghoa, hl ini terjadi sejak zaman Belanda sampai sekarang. Kemudian pada tahun 1960 ada perbedaan antara RRC dengan Indonesia mengalami perbedaan asas dalam kewarganegaraan yaitu Iusoli (Cina) dan Sanguinis (Indonesia). Hal ini berdampak pada orang Cina bebas tinggal di seluruh daerah lapisan bumi dimanapun, tapi bagi orang Indonesia kewarganegaraan berdasarkan kelahiran. Asal dari orang tua tau pertalian darah dan kini berjalan hingga sekarang.”


Kunci pendekatan Gidden mengenai agen dan struktur sebagai dualitas, artinya antara agen dan struktur tidak bisa dipisahkan. Agen terlibat dalam struktur sedangkan struktur melibatkan agen. Gidden menolak struktur sebagai pemaksa terhadap agen. Agen dan struktur menjadi pusat perhatian hubungan antara habitus dan lapangan.23 Pelibatan tindakan sosial dengan struktur ini ditunjukkan Giddens melalui apa yang disebutnya sebagai recurrent social practices. Proses strukturasi ini terjadi pada tingkat kesadaran praktis practical consciousness. Dan pada level kesadaran ini struktur dibangun dan dilanggengkan dalam rutinisasi dan direproduksi. Gramsci dalam membedah intelektual dibagi dalam dua perspektif, yakni intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional adalah figur-figur akademikus atau orang-orang yang terlahir dari produk universitas, seperti dosen, ilmuwan, atau akademisi lainnya. Sedangkan intelektual organik, menurut Gramsci, merupakan bagian tak terpisahkan dari berbagai kelas. Karena itu, kelompok-kelompok, seperti buruh dan nelayan juga merupakan intelektual organik.

Masyarakat Tionghoa sekarang sudah banyak yang membuat organisasi sosial untuk memperjuangkan nasib etnis Tionghoa kedepan. Adanya organisasi sosial juga berfungsi sebagai alat untuk menghegemoni24 masyarakat dan sebagai alat untuk mereproduksi intelektual organik sehingga bisa memperjuangkan nasib warga Tionghoa di masa yang akan datang. Hal ini diungkapkan oleh Mbak Yenni (30) sebagai berikut: “Organisasi-organisasi yang anggotanya orang-orang Tionghoa seperti ITI (Ikatan Tionghoa Islam), Jamaah Cenghoo, PTI (Perhimpunan Tao Indonesia), Majelis Konghuchu, Jaringan Tao Liberal. Sebenarnya orang-orang Organisasinya banyak yang berjalan dan maju, mungkin karena adanya ikatan emosional yang sama diantara mereka.”

FLA berdiri bermula dari terbentuknya Jiad (Jaringan Islam Anti Diskriminasi). Menurut Akhol (30), seorang pendiri Jiad mengatakan:

”Pada tahun 2006 ada sebuah organisasi yang diberi nama Jiad (Jaringan Islam Anti Diskriminasi) kebetulan yang banyak menangani masalah diskriminasi etnis (Tionghoa), sekarang menjadi Fla (Forum Lintas Agama). Tujuan adari Jiad ini yaitu melakukan ”Advokasi” etnis Tionghoa terhadap pemerintah. Pengertian dari Advokasi sendiri yaitu 1)Upaya untuk memperbaiki atau mengubah kebijakan publik sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang mendasarkan terjadinya perbaikna atau perubahan tersebut. 2)proses mempengaruhi pembuatan kebijakan yang dilakukan secara terencana (care). 3)Usaha yang terorganisir, terencana dan sistematis untuk melakukan perubahan sehingga pihak yang dirugikan dapat di untungkan.”


Advokasi ini dilakukan apabila ada warga Tionghoa yang dipersulit mencari KTP oleh Dispenduk. Seperti yang dialami Ta Chi yang pada waktu mengurus kewarganegaraan kedua anaknya dan dibantu dengan Akhol. Berikut ini pernyataan Ta Chi (40) mengenai masalah yang dihadapi:

Permasalahan ini muncul setelah saya bercerai dengan suami saya sekitar tahun 1992. Kita menikah sesama Etnis Tionghoa, lalu kami dikaruniai dua anak. Pada tahun 1996 setelah saya cerai saya ikut naturalisasi dan berhasil. Sekarang saya sudah menjadi warga Indonesia. Setelah kedua anak saya menjadi dewasa. Permasalahan mulai datang bermunculan. Mulai dari sekolah sampai ke pekerjaan. Melihat permasalahan ini saya mulai menyelesaikan / mengurus dokumen-dokumen yang bertujuan untuk memperoleh kewarganegaraan. Disaat saya mengurus dokumen ini saya mengalami banyak kendala ditolak sana-sini dicuekin, pokoknya segala sesuatunya dipersulit. Pada saat itu saya putus asa sekali saya harus kemana mengurus dokumen anak-anak saya ini. kemudian saya mendatangi Bakesbang di Surabaya dengan ibu Bhe-wan dengan aktifis Jihat (bang Akol) dan teman lain-lain.”


Asumsi Gramsci berbeda dengan intelektual tradisional yang cenderung berafilasi dengan kelompok dominan (seperti negara), maka intelektual organik cenderung membuka peluang untuk menciptakan resistensi yang bersifat total terhadap ide-ide kelompok dominan. Bagi Gramsci sendiri revolusi adalah proses organik yang memerlukan pengorganisasian aktifitas sadar dan kesadaran kritis teoritis. Pada umumnya Gramsci menunjuk kepada kontrol terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-sarana kebudayaan.

Menurut Gramsci cendekiawan bukanlah kelas sosial tersendiri, tetapi memiliki keterkaitan sosial di mana kegiatan yang diberi kategori intelektual mendapat tempat dalam hubungan sosial pada umumnya. James Joll secara gamblang menjelaskan bahwa hegemoni suatu kelas politis berarti bahwa kelas tersebut berhasil membujuk kelas-kelas sosial lain untuk menerima nilai-nilai budaya, politik, dan moral dari kelas itu. Kaum cendekiawan tak ditempatkan sebagai kelas tersendiri, tetapi berlaku bagi siapa saja yang melakukan perjuangan menegakkan kebenaran guna mewujudkan keadilan, kebebasan, dan demokrasi. Hadirnya kelompok intelektual yang mendukung kedudukan hegemonial kelas melalui refleksi intelektual-filosofis.25


BAB V: KESIMPULAN
Fla (Forum Lintas Agama) adalah sebuah organisasi dilahirkan dari konstruksi sosial-budaya-keagamaan yang cukup panjang. Secara de jure, usia Yayasan FLA Jawa Timur memang relatif muda (2001), tetapi secara de facto, Yayasan FLA telah ada cukup lama. Isu politik awalnya berkembang pada permasalahan kewarganegaraan. Pada zaman Reformasi etnis Tionghoa sudah dapat pengakuan dari pemerintah, tetapi itu hanya formalitas. Buktinya sampai sekarang banyak yang belum mendapat pengakuan dari pemerintah.

Model gerakan yang dijalankan FLA dalam menangani permasalahan disriminasi etnik Tonghoa antara lain melalui diskusi dengan pemerintah, kegiatan-kegiatan yang melibatkan lintas agama dan publikasi media massa. Masyarakat Tionghoa selama menjadi teralienasi karena sampai sekarang orang Tionghoa tidak mempunyai hak kewarganegaraan padahal etnis Tionghoa tersebut tingal di Indonesia sudah turun temurun. Ideologi yang dijunjung tinggi oleh Fla adalah (kebersamaan, menghargai kebebasan dan keragaman, program perdamaian). Tokoh yang berpengaruh dalam gerakan FLA ini adalah Karl Marx dan Clifford Geertz.






DAFTAR PUSTAKA


Cox, Judy. 1998. Pengenalan kepada teori alienasi Marx. (Jurnal). (http: // arts.anu.edu.au/suara/cox2.rtf. Diakses: 11 November 2008. Pukul 15.04).


Hikam, A. 1996, Demokrasi dan Civil Society, disunting oleh Abdul Mun’im DZ, Jakarta: LP3ES.


Jacky, M. 1999, “Diskursus Cyber Nasionalisme dan Posdemokrasi : Sebuah Studi Tentang Nasionalisme Generasi Ketiga di Indonesia”. Skripsi FISIP Unair.


Kebencian terhadap barang atau orang asing atau ketidaksukaan pada yang serba asing. Lihat Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Jakarta.


Liem, Mustofa. 30 Oktober 2008. Mengapa Masih Ada Stateless?. Opini. (Online). (http://Jawapos.com. Diakses: 29 Oktober 2008. Pukul 05.10).


Lembaga Kajian Agama & Sosial (LKAS). 2007. Contohlah Gerakan Multi-etnis di Surabaya. (Online). (http: // www.lkassurabaya.blogspot.com. Diakses: 19 Oktober 2008. Pukul 13.56).


Musianto, Lukas S. 2003.Peran Orang Tionghoa Dalam Perdagangan Dan Hidup Perekonomian Dalam Masyarakat (Studi Kepustakaan Dan Studi Kasus Tentang Interaksi Etnik Tionghoa Dan Pribumi Di Bidang Perekonomian Di Surabaya). Pdf. (Online). (http://puslit.petra.ac.id/journals/management/. Diakses: 30 Oktober 2008. Pukul 10.22).


Magnis, Franz -Suseno. 2000. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.


Mahfud, Choirul. 2007. Menghapus Diskriminasi Etnis (Tionghoa) di Surabaya. (Online). (http://blogger.com . Diakses: 21 Oktober 2008. Pukul 16.47).


Magnis, Franz-Suseno. 2003. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme ke Arah Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia.


Paryono, Ali. 2004. Strategi Adaptif Siswa Tionghoa Di Tengah Komunitas Local SMAK Santo Yusup Surabaya. Tidak diterbitkan. Surabaya: FIS Unesa.


Raho, Bernard. 2006. Teori Sosiologi Modern. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.


Sinar Harapan. 2006. Menuntaskan Masalah Tionghoa ”Stateless”. Opini. (http:// Sinar Harapan .com Diakses: 29 Oktober 2008. Pukul 05.32).


Sejarah Getir Etnis Tionghoa. (Online) (http://suaramerdeka.com. Diakses: 29 Oktober 2008. Pukul 05.12).


Salim, Izhar., Arifin Sallatang dan Sanusi Fattah . Tinjauan Terhadap Faktor-Faktor Pokok Penyebab Kemiskinan Kelompok Etnis Tionghoa Di Kec. Pemangkat Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat.Pdf. (Online). (http://google.com. Diakses: 30 Oktober 2008. Pukul 10.17).


Sadewo, FX. Sri. 2008. Gerakan Sosial FIS-Unesa TA 2008. (Online). (http: //socmovement-unesa.blogspot.com. Diaskes: 19 Oktober 2008).


Setyaningrum, Puji. 2007. Kultur dan Struktur Masyarakat Desa Sidorejo, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan. Disertai tidak diterbitkan. Surabaya: Prodi Sosiologi UNESA.


Winarso, Heru Puji. Sosiologi Komunikasi Massa, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005.

























1 Salah satu di antaranya adalah Loh Ling-Ling. Gadis 22 tahun itu hingga kini belum bisa menjadi warga negara Indonesia (WNI). Ling-Ling lahir di Surabaya dan dibesarkan keluarga di Kota Pahlawan. Anehnya, hingga sekarang dia belum bisa menikmati indahnya menjadi warga negara Indonesia sejati. “Saya belum menjadi WNI, masih berstatus WNA,” kata Ling-Ling ketika berkunjung ke Jawa Pos (26/8). Lantaran berstatus sebagai orang asing itulah, Ling-Ling sulit mengembangkan diri atau mencari pekerjaan. Sebab, dia tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) maupun kartu keluarga (KK) yang menyatakan bahwa dia warga negara Indonesia. Lihat Jawa Pos, 27 Agustus 2008. Meski dinyatakan sebagai WNA, bisa dipastikan bahwa jika ditelusuri lebih lanjut status Ling-Ling adalah stateless alias tidak memiliki kewarganegaraan. Katakanlah Ling-Ling dinyatakan sebagai warga Tiongkok. Bisa dijamin bahwa pemerintah Tiongkok tidak akan gampang menerima Ling-Ling dan ribuan stateless lain sebagai warga negaranya. Betapa ada penderitaan batin bagi warga stateless. Di Indonesia dinyatakan sebagai WNA, namun tak ada satu pun yang mau mengakui mereka sebagai warga negara. Selengkapnya baca Mustofa Liem. 30 Oktober 2008. Mengapa Masih Ada Stateless?. Opini. (Online). (http://Jawapos.com. Diakses: 29 Oktober 2008. Pukul 05.10).

2 Suatu kecenderungan untuk mengidentifikasi dan mengeneralisasi setiap individu, benda dan sebagainya ke dalam katagori-katagori yang sudah dikenal.

3 Choirul Mahfud. 2007. Menghapus Diskriminasi Etnis (Tionghoa) di Surabaya. (Online). (http://blogger.com . Diakses: 21 Oktober 2008. Pukul 16.47).

4 Sinar Harapan. 2006. Menuntaskan Masalah Tionghoa ”Stateless”. Opini. (http:// Sinar Harapan .com Diakses: 29 Oktober 2008. Pukul 05.32).

5 Di Surabaya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pun masih cukup kentara. Seperti yang diungkapkan Liauw Djai ming (59). Dia tidak pernah pergi jauh dari rumahnya di Jalan Tambaksegeran, Surabaya. Meskipun lahir dan tumbuh dewasa di Surabaya, Djai Ming tidak memilki kartu tanda penduduk (KTP) ataupun kartu keluarga (KK). Setelah 57 tahun tinggal di Indonesia, Djai Ming masih dianggap warga negara asing. Selanjutnya lihat yang berjudul Sejarah Getir Etnis Tionghoa. (Online) (http://suaramerdeka.com. Diakses: 29 Oktober 2008. Pukul 05.12).

6 Choirul. Op.Cit..

7 Lembaga Kajian Agama & Sosial (LKAS). 2007. Contohlah Gerakan Multi-etnis di Surabaya. (Online). (http: // www.lkassurabaya.blogspot.com. Diakses: 19 Oktober 2008. Pukul 13.56).

8 Izhar Salim, Arifin Sallatang dan Sanusi Fattah . Tinjauan Terhadap Faktor-Faktor Pokok Penyebab Kemiskinan Kelompok Etnis Tionghoa Di Kec. Pemangkat Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat.Pdf. (Online). (http://google.com. Diakses: 30 Oktober 2008. Pukul 10.17).

9 Lukas S. Musianto. 2003.Peran Orang Tionghoa Dalam Perdagangan Dan Hidup Perekonomian Dalam Masyarakat (Studi Kepustakaan Dan Studi Kasus Tentang Interaksi Etnik Tionghoa Dan Pribumi Di Bidang Perekonomian Di Surabaya). Pdf. (Online). (http://puslit.petra.ac.id/journals/management/. Diakses: 30 Oktober 2008. Pukul 10.22).

10 Kebencian terhadap barang atau orang asing atau ketidaksukaan pada yang serba asing. Lihat Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Jakarta.

11 Ali Paryono. 2004. Strategi Adaptif Siswa Tionghoa Di Tengah Komunitas Local SMAK Santo Yusup Surabaya. Tidak diterbitkan. Surabaya: FIS Unesa.

12 Franz Magnis-Suseno. 2000. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal.117.

13  Ibid..Hal.119.

14  Ibid..Hal.121.

15 FX. Sri Sadewo. 2008. Gerakan Sosial FIS-Unesa TA 2008. (Online). (http: //socmovement-unesa.blogspot.com. Diaskes: 19 Oktober 2008).

16 Puji Setyaningrum. 2007. Kultur dan Struktur Masyarakat Desa Sidorejo, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan. Disertai tidak diterbitkan. Surabaya: Prodi Sosiologi UNESA. Halaman 11.

17 Lexy J. Moleong.2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Halaman 165-166.

18 Bernard Raho. 2006. Teori Sosiologi Modern. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Halaman 137.

19 Ideologi menurut Marx merupakan kepercayaan yang ditentukan oleh sebab-sebab materi. Intinya, gagasan-gagasan kelompok berkuasa selalu berawal dari dominasi ide, kemudian “kelompok yang menguasai kekuatan material masyarakat mengendalikan kekuatan intelektual Pemahaman kritik Hegel dalam pandangan Marx lebih bersifat filsafat idealisme. Ide-ide yang dominan atau pandangan hidup dasar itu kelihatannya merupakan kunci untuk memahami suatu masyarakat, dalam kenyataannya, ide-ide bersifat epifenomel, artinya ide-ide itu merupakan cerminan dari kondisi materiil. Lihat Doyle Paul Johnson. 1986. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Jakarta: PT Gramedia. Hal. 121. Secara umum, Eagleton mengartikan ideologi menjadi enam makna. Pertama, ideologi adalah proses material yang berhubungan dengan produksi gagasan, kepercayaan dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial. Kedua, ideologi diartikan sebagai ide dan kepercayaan (baik itu salah maupun benar) yang melambangkan keadaan dan pengalaman hidup khususnya, keterkaitan sosial kelompok atau antar golongan. Ketiga, ideologi merupakan sesuatu yang melakukan promosi dan legitimasi kepentingan beberapa kelompok sosial dalam menghadapi kepentingan yang berlawanan. Keempat, makna ideologi menitikberatkan pada promosi dan legitimasi kepentingan sektoral, namun dibatasi oleh kegiatan kekuatan sosial yang dominan. Kelima, ideologi melambangkan ide dan kepercayaan yang membantu legitimasi kepentingan kelompok khususnya oleh distorsi dan disimulasi. Keenam, ideologi menitik beratkan pada kepercayaan baik salah ataupun palsu yang berasal dari struktur material masyarakat secara keseluruhan dan tak melihat kepercayaan sebagai hal yang berkembang dari kepentingan golongan. Konsep kritik Hegel, dan Marx tersebut adalah sebagai upaya individu atau kelompok untuk memper-kritis diri. Menemukan arti sejati dari sebuah proses pengekangan, rintangan dan tekanan menuju proses kesadaran.  M Jacky. 1999, “Diskursus Cyber Nasionalisme dan Posdemokrasi : Sebuah Studi Tentang Nasionalisme Generasi Ketiga di Indonesia”. Skripsi FISIP Unair. Hal. 40

20 Judy Cox . 1998. Pengenalan kepada teori alienasi Marx. (Jurnal). (http: // arts.anu.edu.au/suara/cox2.rtf. Diakses: 11 November 2008. Pukul 15.04).

21 Ibid..

22 Heru Puji Winarso, Sosiologi Komunikasi Massa, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005.Hal. 179.

23 Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang diinternalkan. Melalui habitus individu memahami kehidupan social. Habitus dihasilkan oleh masyarakat. Lapangan adalah jaringan hubungan antara berbagai posisi obyektif. Op. Cit. George ritzert-douglas j Goodman

24 Hegemoni adalah suatu tatanan ide yang koheren dan sistematis, yang pada gilirannya membatasi pencetusan dan penyebarluasan ide-ide tandingan dalam masyarakat bersangkutan. Hegemoni dapat membuat masyarakat secara sukarela menerima kekuasaan yang dominan tanpa dipaksa. Hikam, A., 1996, Demokrasi dan Civil Society, disunting oleh Abdul Mun’im DZ, Jakarta: LP3ES.

25 Franz Magnis-Suseno. 2003. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme ke Arah Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia. Hal. 184.