Kamis, 13 November 2008

catatan lapangan2

Catatan Lapangan (Field Note) :


Hari : Jum’at

Nama : Bang Akol

Tanggal : 31 Oktober 2008

Jns Kelamin : Laki-laki

Waktu : 19.30 – 20.30 WIB

Umur : 30 Th

Tempat : Kantor C-Mars

Agama : Islam


Pendidikan: S2


Wawancara (In-depth Interview) tentang :

Pada tahun 2006 ada sebuah organisasi yang diberi nama Jiat (Jaringan Islam Anti Diskriminasi) kebetulan yang banyak menangani masalah diskriminasi etnis (Tionghoa), sekarang menjadi Fla (Forum Lintas Agama). Tujuan adari Jiat ini yaitu melakukan ”Advokasi” terhadap pemerintah.

Pengertian dari Advokasi sendiri yaitu 1)Upaya untuk memperbaiki atau mengubah kebijakan publik sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang mendasarkan terjadinya perbaikna atau perubahan tersebut. 2)proses mempengaruhi pembuatan kebijakan yang dilakukan secara terencana (care). 3)Usaha yang terorganisir, terencana dan sistematis untuk melakukan perubahan sehingga pihak yang dirugikan dapat di untungkan.

Pada tahun 2007 muncullah undang-undang kewarganegaraan sebagai WNI, tapi itu semua tidak ada peruagan yang jelas.

Seperti kasus Ta Chi yang pada waktu itu tidak mengikuti naturalisasi, sehingga sulit untuk mengurus dokumen-dokumen kewarganegaraan. Selain itu biyaya yang mahal menjadikan banyak Etnis Tionghoa yang tidak jelas. Prosedur birokrasi yang harus mengurus ke Imigran, departeman Hukum dan Ham, kurang lebih mengeluarkan biyaya 3-4 Juta. Bagi mereka agka ini merupakan angka yang spektakuler.

Latar belakang Jiat selalu melakukan pendampingan yaitu semangat dari Jiat itu sendiri yang didirikan untuk menggalang Advokasi pada tahun 2004. Pada waktu itu juga banyak penyesatan agama /kekerasan yang dilatar belakangi

Reflektif


Jiad (Jaringan Islam Anti Diskriminasi)





Pengertian dari Advokasi












Kasus Ta Chi







Latar belakang Jiat



Lanjutan :


Agama. Seperti kekerasan yang terjadi di Probolinggo, sholat dengan menggunakan 2 bahasa, jamaah torikot dll.

Etnis Tionghoa yang berada di Indonesia sering dianggap oleh pemerintah sebagai “sapi perahan para birokrat” karena berdasarkan konstruk mereka etnis tionghoa selalu identik dengan kaya, mapan, brengsek. Padahal banyak etnis yang kere.

Dengan terambatnya mereka dalam mengurus dokumen kewarganegaraan. Hampir semua akses ke sector formal mereka tertutup. Tentunya permasalaan pekerjaan dan pendidikan yang terbatas. Dengan catetan bagi masyarakat kelas social atas hal ini bukan menjadi masalah. Misalnya saja Sekolah Ciptra yang bisa dimasuki seluruh lapisan, tapi hanya bisa ditmbus oleh lapisan atas saja, memang terbuka tapi mahalnya minta ampun. Meskipun kita mohon-mohon sampai “ngising 2 bleg” tidak mungkin hal itu bisa.

Jika kita memahami secara omogen tentu tidak bisa, tetapi jika memahami secara homogen pastilah bisa. Sebetulnya Etnis Tionghoa ini sama dengan orang jawa yang kebanyakan. Sebetulnya permasalahannya hanya pada diri kita, selalu menganggap etnis Tionghoa kaya, sugeh, bajingan,singgkek hal ini menjadi konsep tunggal dalam masyarakat kita.

Sebenarnya mereka terhambat oleh lingkungan mereka sendiri, hidup mereka rata-rata dijamin oleh kebutuhan gereja. Karena penghasilan mereka yang tidak cukup untuk makan sehari-hari itu.

Etnis Tionghoa ini sangat pantas sekali disebut sebagai etnis yang paling terdiskriminasi, karena dimana pun dia tinggal dia tidak diterima. Di RRC tidak diakui sebagai warga negaranya, di Indonesia apalagi. Pada hal bertahun-tahun mereka tinggal di Indonesia lahir dan besar di sini, hanya yang mmbedakan bola mata saja yang sipit.

Ikatan primordial antar mereka sangat rendah sekali, tidak sedikit dari mereka tidak menganggap saudara sendiri, karena status ekonomi yang rendah, bagi yang atas dengan atas atau setara tidak masalah, tetapi bagi yang miskin dengan kaya mereka sangat cuek.

Organisasi yang berada seperti ikatan marga, PSTI,IMTI dll.

Reflektif






“sapi perahan para birokrat”





semua akses ke sector formal mereka tertutup







Etnis Tionghoa ini sama dengan orang jawa





kebutuhan gereja




Etnis Tionghoa paling terdiskriminasi






Ikatan primordial


Lanjutan :


Sebenarnya permasalahan ini terjadi sejak zaman Belanda. Pada saat itu UU Kewarganegaraan Belanda dibagi atas tiga bagian: Belanda (kulit putih), Asia (Cina), dan Bumiputra. Hal ini oleh Belanda sengaja dirumuskan. Orang Asia / yang berada diposisi tengah dijadikan komoditi atau perantara (makelar) antara pribumi dengan kulit putih. Buktinya sampai saat ini di kawasan Ampel sana terdapat kampong Peticina, arab, pribumi. Hal ini bertujuan sebagai kepentingan politik dari pemerintah semata. Jika antar etnis ini dikumpulkan disuatu kampong maka tidak mungkin ada perlawanan untuk Negara. Dalam hal ini ras yang selalu menjadi korban selalu cina. Kasusu pembantaian terbesar yang trjadi di Indonsia yaitu Etnis Tionghoa, hl ini terjadi sejak zaman Belanda sampai sekarang.

Kemudian pada tahun 1960 ada perbedaan antara RRC dengan Indonesia mengalami perbedaan asas dalam kewarganegaraan yaitu Iusoli (Cina) dan Sanguinis (Indonesia). Hal ini berdampak pada orang Cina bebas tinggal di seluruh daerah lapisan bumi dimanapun, tapi bagi orang Indonesia kewarganegaraan berdasarkan kelahiran. Asal dari orang tua tau pertalian darah dan kini berjalan hingga sekarang.

Reflektif





Belanda (kulit putih), Asia (Cina), dan Bumiputra











Iusoli (Cina) dan Sanguinis (Indonesia).


Catatan Lapangan (Field Note) :


Hari : Sabtu

Nama : The Jam Hun / Ta Chik

Tanggal : 1 November 2008

Jns Kelamin : Perempuan

Waktu : 13.30 – 15.00 WIB

Umur : 40 Th

Tempat : Kantor C-Mars

Agama : Konghuchu

Pendidikan : SMP



Wawancara (In-depth Interview) tentang :


Permasalahan ini muncul setelah saya bercerai dengan suami saya sekitar tahun 1992. Kita menikah sesama Etnis Tionghoa, lalu kami dikaruniai dua anak.

Pada tahun 1996 setelah saya cerai saya ikut naturalisasi dan berhasil. Sekarang saya sudah menjadi warga Indonesia. Saat itu pada zaman pemerintahan Soeharto, dia berhasil membuat warga yang steetes menjadi punya kewarganegaraan. Hampir seluruh Indonesia mengikuti naturalisasi. Sejak dari tahun 1981 UU kewarganegaraan Indonesia berlangsung secara turun temurun, pertalian darah dari ayah, sedangkan saya saja sudah cerai, hanya bisa ditempuh dengan naturalisasi.

Setelah kedua anak saya menjadi dewasa. Permasalahan mulai datang bermunculan. Mulai dari sekolah sampai ke pekerjaan. Melihat permasalahan ini saya mulai menyelesaikan / mengurus dokumen-dokumen yang bertujuan untuk memperoleh kewarganegaraan. Disaat saya mengurus dokumen ini saya mengalami banyak kendala ditolak sana-sini dicuekin, pokoknya segala sesuatunya dipersulit. Pada saat itu saya putus asa sekali saya harus kemana mengurus dokumen anak-anak saya ini. Kemudian saya bergabung dengan ibu Bhe-wan, beliau aktifis perempuan dari etnis tionghoa yang sama memperjuangkan kewarganegaraannya. Sekitar bulan agustus saya bergabung dengan beliau. Kemudian bulan september 2006 saya sering memberitakan diri di koran-koran lokal, yang bertujuan agar aspirasi kami dapat didengar oleh para pemerintah. Tidak lama kemudian saya mendatangi Bakesbang di Surabaya dengan ibu Bhe-wan dengan aktifis Jihat (bang Akol) dan teman lain-lain.

Reflektif


Cerai dengan suami tahun 1992



Ikut Naturalisasi









Anak tidak punya dokumen kewarganegaraan



Bertemu Bhe-wan dan Akhol







Lanjutan :


Tapi kami hanya mendapatkan janji-janji yang tidak jelas. Tujuan kami kesana adalah mendomprak diskriminasi yang selama ini mengantui hidup kami.

Lalu saya kirim surat kepada Menteri Hukum dan Ham Pak Hamid Awaluddin pada tahun 2006 yang memuat keluh kesah warga Tionghoa yang dipersulit mendapatkan kewarganegaraan dari pemerintah setempat.dalam hal ini Dispenduk. Akhirnya Pak Hamid mengeluarkan Instruksi Menteri mengenai pemberian KTP dan status kewarganegaraan RI kepada warga Tionghoa yang berstatus stateless. Tetapi hal itu dilakukan tanpa harus terlebih dahulu melalui pencabutan dari kantor imigrasi, cukup dengan akta kelahiran.

Sejauh ini yang telah mendapatkan SK tentang permohonan kewarganegaraan dari tahun 2006 adalah sekitar 139 dari 329 pemohon. Langkah selanjutnya mengurus ke kantor dispenduk surabaya di daerah Kayun. Tetapi hal ini tidak berjalan mulus karena Surabaya beda dengan daerah lainnya. Menurut Perda Kependudukan Surabaya, syarat untuk mengurus KTP bagi warga Tionghoa adalah meminta surat keterangan dari keimigrasian, surat keterangan dari kepolisian dan disertai akta kelahiran. Namun hal ini tidak sesuai dengan SK Menteri yang hanya mensyaratkan akta kelahiran untuk mengurus KTP. Nah, itu yang membuat saya meradang dan merasa telah didiskriminasikan oleh aparat pemerintahan.

Kemudian saya tidak tinggal diam, saya pergi ke kantor dispenduk propinsi Jatim di daerah Bendol Mrisi. Saya mengatakan apa adanya di lapangan mengenai pengurusan KTP yang dipersulit. Namun tanggapannya belum meyakinkan karena Kepala Dispenduk Jatim hanya menjanjikan akan berkoordinasi dengan dispenduk Surabaya.

Dalam memperjuangkan ini, saya masuk ke Lembaga Bantuan Hukum Kewarganegaraan yang beralamatkan di Jalan Pahlawan No.64 Surabaya. Juga dibantu dengan IKI (Institut Kewarganegaraan Indonesia) yang ada di Jakarta. Menurut salah satu anggota IKI, mereka akan membantu mengadvokasi warga Tionghoa yang dipersulit tersebut. Menurut saya, pemerintah yang berwenang hanya seenaknya saja tanpa memperhatikan keadaan warga Tionghoa yang miskin. Mungkin mereka telah sakit hati atau apa kepada orang Tionghoa karena orangnya pelit dan serakah dalam urusan dagang dan kebanyakan kaya-kaya. Namun kita tidak bisa menutup mata akan adanya orang Tionghoa yang jauh dari kata mapan. Mereka yang miskin hidup sangat sederhana dan sangat terbatas dalam ekonominya. Bila harus mengurus surat kewarganegaraan yang rumit dari tingkat RW hingga ke Kantor Dispenduk Surabaya, yang diperkirakan makan biaya banyak. Untuk mengurus surat Tinggal Sementara atau KITAS / KITTAP (tetap) memerlukan biaya yang besar, sekitar 2-3 juta totalnya.

Di lembaga saya telah mendaftarkan 39 orang yang telah mengajukan permohonan. Kebanyakan mereka masih memiliki dokumen kewaraganegaraan tapi di kantor dispenduk, tidak ada data di databasenya.








Surat ke Menteri Hukum dan HAM









SK Kewarganegaraan





Usaha ke dispenduk




Masuk ke LBK











Tidak punya database




Tidak ada komentar: