Sabtu, 01 November 2008

Catatan Lapangan (Field Note) :


Hari : Minggu
Nama : Mbak Sha-sha

Tanggal
: 19 Oktober 2008
Jenis Kelamin
: Perempuan
Waktu
: 18.30 – 20.00 WIB
Umur : 27 Th
Tempat : Celebrity Cafe (Royal Plasa)
Agama : Islam
Pendidikan
: S-1
Subjek Sedang : Ngopi di Royal Plaza


Wawancara (In-depth Interview):

Fla apa itu?fla adalah Forum Lintas Agama. Berdiri sejak tahun 1997. sekarang berganti nama Yla yaitu Yayasan Lintas Agama. Pergantian nama ini disebabkan karena pendaftaran nama kenotaris yang tidak boleh menggunakan kata “Forum” sehingga diganti dengan “Yayasan”. Sehingga mulai tahun ini 2008 berganti nama menjadi Yayasan Forum Lintas Agama Jawa Timur.

Asal mula berdirinya berawal dari persamaan etnis Tionghoa yang pada masa itu (Orde Baru) tidak dapat pengakuan secara hukum dari pemerintah. Seperti pembuatan KTP, KK, Sekolah Negeri, Pekerjaan. Sehingga pada waktu itu mereka rela merubah agamanya menjadi Katolik, Kristen, Islam pada hal sesungguhnya adalah Konghucu. Maka dari hal itu sering melakukan diskusi-diskusi setiap bulannya, sehingga terbentuk kesepakatan untuk membentuk forum yang mewadahi aspirasi para etnis tionghoa untuk menuntut haknya. Maka terbentuklah Fla. Hal yang dilakukan Fla untuk membantu para etnis tionghoa adalah selalu mendesak pemerintah dengan memuat beritanya sampai kemedia massa, agar berita ini dapat sampai ketelinga pemerintah, melakukan diskusi-diskusi dengan Negara-negara yang mempunyai permasalahan yang sama seperti Indonesia (India, Itali, Spanyol dll).

Pada zaman Reformasi etnis Tionghoa sudah dapat pengakuan dari pemerintah, tetapi itu hanya formalitas. Buktinya sampai sekarang banyak yang belum mendapat pengakuan dari pemerintah. Misalnya dalam pengurusan surat-surat, selalu dipersulit. Pemerintah sudah mengesahkan dan UU pun sudah dibuat tetapi kebawahnya belum terealisasi secara tepat dan benar. Mereka dipersulit oleh birokrasi Negara.

Kantornya bertempat di Jl. Gayungsari Barat VI/3 Surabaya. Merupakan organisasi yang pertama membela keberadaan etnis Tionghoa yang berada di Indonesia.

Kegiatan yang sering dilakukan berupa setiap minggu (hari selasa) mengadakan pertemuan antar anggota. Membicarakan agenda-agenda yang akan dikerjakan. Sminar-sminar, workshop, trening dll.

Fla mempunyai dewan pelindung yang selalu melindungi dari jeratan hukum. (dapat dilihat ditabel), selain itu juga penggalian dana dari luar negeri maupun dari dalam yang kebanyakan bos-bos dari perusahan ternama di Indonesia. Seperti Gudang Garam, kapal Peti Kemas, Romo-romo dari berbagai daerah di Jawa, pabrik kertas Kiwi.


Reflektif


Pergantian nama FLA ke YLA





Asal mula berdirinya








Konflik dengan pemerintah





Kantor YLA



Kegiatan YLA



Fla mempunyai dewan pelindung


Surabaya, 19 Oktober 2008

Pewawancara




Catatan Lapangan (Field Note) :

Hari : Selasa

Nama : Mbak Yenni

Tanggal : 21 Oktober 2008

Jenis Kelamin : Perempuan

Waktu : 15.00-16.30 WIB

Umur : 30 Th

Tempat : Kantor FLA

Agama : Islam

Pendidikan : S1

Subyek Sedang :Sedang Duduk Santai di Kantor FLA



Wawancara (In-depth Interview):


Di dalam kantor Fla terdapat papan yang berisi tanda-tangan berupa pernyataan untuk pemerinta agar melindungi Jama’ah Ahmadiah agar tidak diperlakukan dengan sewenang-wenangnya. Sampai kantor FLA diserang FPI Jawa Timur.

Fla kesehariannya menangani permasalahan agama, seperti perkawinan beda agama, selain itu juga masala etnis yaitu Tionghoa, sejauh ini hal ini karena sering sekali mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat.

Dalam menangani permasalahn Etnis Tionghoa yang paling banyak yaitu permasalahan dalam pengakuan kependudukan. Negara tidak memberikan kartu kependudukan kepada kebanyakan Enis ini karena sulitnya mengurus mulai RT-PEMKOT. Dalam mengurus kartu identitas atau KTP setidaknya mempunyai Surat Migrasi, Paspor, atau surat yang memperkuat keberadaan mereka. Padahal mereka sudah tinggal di Indonesia sudah dari kakek buyut mereka sekitar sebelum zaman kemerdekaan. Sehingga mereka binggung jalan memperoleh identitas ini dari mana.

Mereka mengakui dirinya sebagai warga Indonesia, hanya saja mereka berasal dari Etnis Tionghoa sehingga mayoritas dari mereka beragama Konghucu yang di Negara Indonesia agama ini tidak diakui. Negari Indonesia hanya mengakui 5 Agama (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha), tetepi di Fla mengakui 9 Agama/Kepercayaan (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu, Aliran Tao, Kristen Jendela, dan Aliran-aliran kepercayaan). Agama / kepercayaan itu urusannya dengan tuhan, maka sebagai manusia sebenarnya tidak pantas mengatur-ngatur orang dalam beribadah.

Permasalahan yang dihadapi oleh Etnis Tionghoa yaitu 1)Negara tidak mengakui keberadaan mereka, 2)Sistem yang tidak dibangun dalam aparat-aparat birokrat. Maka fungsi dari keberadaan Fla yaitu mendafokasi pemerintah, menemani mereka dalam pengurusan surat-surat, sosialisasi yang di manpun (media), memotifasi mereka agar tidak mudah putus asa, mengalokasi ke undang-undang.

Banyak orang-orang Tionghoa yang Kere, misalnya di daerah dekat-dekat Ampel. Bangunan rumah yang ukurannya 3x3 yang di dalamnya digunakan sebagai tempat tinggal, masak, dll. Ada juga yang penghasilan Rp 20.000 sehari. Padahal konstruksi kita terhadap orang Tionghoa selalu kaya, glamour, bos-bos besar, tapi sebenarnya tidak begitu. Bagi orang Tionghoa yang kaya hal ini tidak bermasalah, mereka bisa membeli aparat biroktar kita untuk membuatkan kartu identitas, tapi bermasalah bagi yang miskin. Mereka harus membayar sekian juta untuk mendapatkan kartu identitas, sedangkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari kurang sekali.Organisasi-organisasi yang anggotanya orang-orang Tionghoa seperti ITI (Ikatan Tionghoa Islam), Jamaah Cenghoo, PTI (Perhimpunan Tao Indonesia), Majelis Konghuchu, Jaringan Tao Liberal. Sebenarnya orang-orang Organisasinya banyak yang berjalan dan maju, mungkin karena adanya ikatan emosional yang sama diantara mereka.

Selama ini dalam permasalahn perkawinan antar Etnis Tionghoa tidak ada permasalahan, hanya saja mereka sering dianggap sebagai pasangan kumpul kebo oleh masyarakat, karena tidak memiliki bukti pernikahan yang sah. Mereka sulit mendaftarkan bukti pernikahan mereka di kantor agama. Karena agama dari mereka kebanyakan Agama Konghuchu. Maka tidak jarang dari mereka harus rela merubah agamanya, yang aslinya Konghucu manjadi agama-agama yang lain demi mendapatkan kartu identitas dan pernikahan mereka dapat dicatat di kantor agama sesuai dengan aagama yang dipilih. Sering sekali kita jumpai banyak sekali orang tionghoa yang mudah sekali berganti-ganti agama, karena mereka sendiri juga sadar kalau mereka hanya etnis minoritas yang berada di tengah masyarakat mayoritas.

Sebenarnya pemerintah sudah membuat undang-undang tentang keberadaan Etnis Tionghoa, tetapi sayangnya job dis belum berjalan kebawah. Hanya saja ada kesalah system yang harus dibenahi. Para aparat birokrat masih bermental orde baru.

Dulu pernah ada kasus tentang kepemilikan KTP yang dimiliki oleh Etnis Tionghoa, dia bernama Pak Anliy. Dia merupakan aktifis, yang memuntut haknya sebagai warga Indonesia. Dia berjuang sendiri secara diam-diam membuat KTP, kemudian dia mendapatkannya. Setelah dia mendapatkannya kemudian dia teriak-teriak lewat media cetak/elektronik kalau dia sudah mendapatkan KTP dari pemerintah. Tentu saja Etnis Tionghoa yang lain iri melihat hal ini, mereka menuntut pemerintah untuk bersikap adil, kemudian tindakan yang dilakukan pemerintah adalah menarik kembali KTP yang dimiliki Pak Anliy.

Ideologi yang dijunjung tinggi oleh Fla adalah (kebersamaan, menghargai kebebasan dan keragaman, program perdamaian). Fla juga pernah menjadi panitia imlek disalah satu masjid suranaya, pernah juga diundang di perkumpulan orang-orang Tionghoa yang berbahasa arab, karena pada saan itu islam masuk ke Cina tersebar di Siria. FLA ikut membantu dengan cara menjadi tim advokasi Anliy untuk mendesak pemerintah untuk mengembalikan KTP yang disita. Awalnya melalui diskusi dengan pemerintah, tapi tidak menemui jalan tengahnya, maka FLA mengambil langkah untuk mempublikasikan kasus ini lewat media massa Surya.

Reflektif


FLA diserang FPI Jawa Timur



Keseharian FLA




Kartu Identitas atau KTP




Mayoritas beragama Konghucu





Permasalahan Etnis Tionghoa







Tionghoa yang Kere






Organisasi yang anggotanya Tionghoa






Permasalahn perkawinan





Undang-Undang



Kasus tentang kepemilikan KTP







Ideologi yang dijunjung


Surabaya, 21 Oktober 2008


Pewawancara


Catatan Lapangan (Field Note) :

Hari : Selasa

Nama : Mas Amien

Tanggal : 21 Oktober 2008

Jenis Kelamin : Laki-laki

Waktu : 16.30-17.30 WIB

Umur : 32 Th

Tempat : Kantor FLA

Agama : Islam

Pendidikan : S2

Subyek/Peristiwa :Sedang Duduk Santai di Kantor FLA


Wawancara (In-depth Interview) :

Jika melihat secara kuantitatif jumlah diskriminasi etnik terhadap Etnik Tionghoa selalu meningkat. Sebenarnya Etnik yang berada di Indonesia ini tidak hanya Etnik Tionghoa, tetapi masih ada Etnik Arab dan India. Hanya saja mereka tidak mempunyai permasalahan dengan pemerintah, minimal jaranglah.

Sebenarnya hal yang dituntut oleh Etnis Tionghoa yaitu status sebagai kewarganegaraan (WNI). Kebanyakan dari mereka adalah masyarakat urban, yang sudah 4 keturunan. Sehingga sulit sekali melacaknya. Di Negara asal (Cina) mereka tidak diakui, sedangkan di Negara Indonesia juga tidak diakui, hanya permasalahan kartu tanda penduduk.

Jika melihat dari latar belakang sejarah sebenarnya mereka berasal dari Etnis Mansyuria, yang berdagang ke Indonesia bersama dengan Etnis Arab, India dll. Etnis-etnis ini bertahan dari zaman colonial Belanda sampai sekarang.

Proses agama yang selalu dinamis mengikuti perkembangan manusia yang membuat banyak bermunculan agama-agama baru, sehingga sering menimbulkan diskriminasi di masyarakat. Adanya sentiment status budaya yang membuat mereka menjadi klompok minoritas.

Sebenarnya dalam pengurusan kartu tanda penduduk oleh para birokrat rawan sekali terjadi komersialisasi. Karena tidak segan-segan mereka mengambil keuntungan dari bisnis ini. Sebagai wakil Negara yang baik, hendaknya bisa memfasilitasi warganya dengan berbagai macam kemudahan, sehingga tidak sampai memprofokasi pemerintahan. Mental birokrasi yang susah diajak berubah membuat mudahnya terjadi hal-hal yang bertentangan dengan UU yang suda ditetapkan oleh pemerintah.


Reflektif



Diskriminasi etnik meningkat




Status kewarganegaraan



Latar belakang sejarah



Agama selalu dinamis




Komersialisasi dikalangan Birokrat

Surabaya, 21 Oktober 2008


Pewawancara



Catatan Lapangan (Field Note) :

Hari : Jum’at

Nama : Mashuri

Tanggal : 24 Oktober 2008

Jenis Kelamin : Laki-laki

Waktu : 15.00-16.30 WIB

Umur : 30 Th

Tempat : Kantor FLA

Agama : Islam


Pendidikan : S1

Subyek/Peristiwa
:
Wawancara di ruang sidang kantor FLA



Wawancara (In-depth Interview):

Pengertian gerakan social sendiri dibagi menjadi dua yaitu gerakan social baru dan gerakan social lama. Yang dimaksud dengan gerakan soaial aru adala gerakan yang menyebabkan perubahan dari bawah menuju keatasa, sedangkan gerakan social lama ergerak pada wilayah atas saja atau bisa dikatakan sebagai anti globalisasai. Misalnya seperti ilmu “satu potong jerami” maksud dari ilmu ini adalah sepotonh jerami bisa membuat dirinya menjadi subyek yang mau bicara dulu, dalam hal ini seperti Etnis Tionghoa yang berasal dagolongan kecil atau termajinalkan bisa menjadi subyek yang mengakui keberadaannya, mau berbicara kepada orang lain, terbuka pada siapa saja. Untuk mewujudkan hal ini sangat sulit sekali mereka merasa kecil dan tidak berarti. Denga menjadi subyek yang berani ngomong, mereka dapat menghadapi masalah yang diluar dengan kekuatannya, berani membantah. Kemudian berani melapor ke Dispendug, ke Imigrasian, sampai uji material yang ditetapkan oleh perda Th 1997.

Di dalam Etnis Tionghoa ikatan primodial antar masyarakatnya sangat bertolak, minim sekali. Kebanyakan dari mereka cuek. Sehingga banyak menimbulkan klas-klas dalam golongannya seperti : 1)MIdermen (klas-klas) yang mempunyai akses politik atau kekuasaan, ada juga yang menduduki kursi parpol, tentunya mereka yang kaya. 2) Ada juga yang miskin tapi mempunyai akses, tapi akses ini juga terbatas saja. 3) Ada yang miskin, status kewarganegaraan (stetles) sulit mendapatkan persyaratan yang tidak mungkin terpenuhi, karena ribetnya birokrasi dan kurangnya biyaya. Diselesaikan seperti apapun tidak mungkin, karena paying hokum yang belum jelas sampai detik ini.

Beberapa prosedur yang harus dipenuhi dalam pengurusan KTP bagi warga Etnis Tionghoa dimulai dari mempunyai KITAP (Kartu Ijin Tetap) => KITAS (Kartu Ijin Sementara) => PASPOR => Surat Keterangan Lapor Diri (dari RRC) Sedangkan dari pihak RRC saja sudah tidak mengakui mereka sebagai warga penduduknya, sehingga mereka kebingungan memulai dari mana, selain itu juga biyaya untuk menembus mendapatkan surat-surat ini mahal sekali,Sedangkan makan saja da syukur, bagi yang miskin.

Sebenarnya dari pemerintah sudah mengeluarkan UU 3258-No 12 Th 2006. Tentang naturasi anak (perkawinan), pasti butuh Akte Nikah, sebelumnya harus punya KTP. Naturasi istri atau suami, kecuali mereka pindaha agama. Juga ada Perda No 2 Th 1997, tentang warga pemikim, sekarang sudah ganti Siat (Sistem Administrasi Kependudukan), tapi cumak buat WNI saja, sedangkan WNA masih belum jelas.

Sebenarnya tugas dari Gersos menurut saya yaitu mampu menjadi subyek yang mau berbicara, minimal itu dululah, kemudian mampu mengungkapkan ketidak mampuannya, sehingga orang-orang yang berada disekelilingnya menjadi tau apa yang sebenarnya dia rasakan sebagai Etnis Minoritas, ditengan Etnis Mayoritas. Jika mencari mereka, Kebanyakan berada di daerah kota-kota tua yang berada dipesisir pantai, berada ditengah masyarakat urban, seperti di daerahtambak sigaran, pasar kembang, genteng. Mereka kebanyakan menetap di daerah ini karena takut kena operasi, kemudia dideportasi, sedangkan didaerah seperti itu hamper tidak pernah terjadi pemeriksaan, karena masyarakat yang bertempat di sana kebanyakan masyarakat urban, yang dekat denga pabrik, atau pasarr-pasar, pemukiman kumuh, rumah padat penduduk. Sehingga dengan membaur mereka dapat tinggal aman di Indonesia, hal ini merupakan siasat mereka untuk tidak kena deportasi. Hal ini merupakan bentuk resistensi mereka. Jikapun sampai dideportase, mereka harus dideportase kemana RRC juga tdk mengakui mereka sebagai warganya, Indonesia juga. Fenomena ini sesuai dengan konsep Clivordgets dalam buku Santri, Abangan, Priyayi. Karena stetles mereka menjadi liar, maksudnya menjadi pribumi jawa, tinggal dikampung kumuh, rumah padat, pasar, menjadi orang jawalah, sehingga mereka sudah tidak kelihatan seperti Etnis Tionghoa, ya seperti orang pribumi tulen.

Pekerjaan mereka, bagi Cina miskin ada yang menjadi tukang ngemis, jual krupuk keliling yang dipanggul, jual sayur dipasar, yang rata-rata penghasilan kurang lebih 200 Rb setahun.

Sejauh ini warga pribumi kota tidak melakukan resistensi terhadap Etis Tionghoa, padahal kebanyakan yang menguasai perekonomian di Negara ini Etnis Tionghoa, tapi ini tidak semua ada orang Cina yang baik tapi (brengsek), ada juga yang baik tapi nasip yang kurang baik, sehingga kita melakukan pendampingan terhadap etnis minoritas ini. Sebenarnya yang paling dominan etnis yang berada di Indonesia ini adalah Arab, Cina, India tetapi yang sering mendapatkan masalah selalu etnis Tionghoa.

Pernah terjadi konflik antara Etnis Tionghoa lapisan atas dengan lapisan bawah. Orang yang yang berada dilapisan bawah bekerja sebagai buruh di toko orang Cina yang berada dilapisan atas. Orang Cina miskin protes terhadap orang Cina kaya, karena upah yang diterimanya tidak wajar, lebih rendah dari upah pribumi yang lainnya. Bagi orang Cina kaya beranggapan, bahwa dia memperkerjakan warga ilegal tanpa status yang jelas, maka orang Cina miskin tidak bisa melawan hanya pasrah dengan nasip. Padahal mereka satu nenek moyang, tapi bagi warga Cina kaya yang penting dia untung dulu.

Sebenarnya akar permasalah ini berasal dari kesalahan Etnis Tionghoa Kaya. Mereka selalu menggunakan uang dan kekuasaan untuk melakukan pelanggaran. Apalagi mental birokrat yang mudah sekali dibeli, jadi klop/pas sudah. Menyogok sana-sini, secara tidak langsung hal ini mempraktekkan diskrisminasi. Maka dalam benak kita selalu beranggapan orang cina itu kaya suka nyogok. Padahal orang Cina miskinlah yang menerima akibat dari orang Cina kaya.

Latar belakang sejarahnya seperti ini, jika kita melihat kebelakang pada awalnya permasalahan kewarganegaraan, bukan suatu masalah bagi Negara. Sebelum Indonesia merdeka ada hukum Negara yang disebut sebagai “Hukum Kaula Negara” (Hak Rediu Pasif), pada saat itu hukum kewarganegaraan terbuka bebas, persyaratan menjadi warga Negara cukup mengakui “saya sebagai WNI” dengan berkata demikian maka sudah menjadi WNI. Hal ini serupa dengan Cina.

Pada Th 1958 UU Kewarganegaraan Indonesia berubah menjadi Asas Iusoli (keturunan) dan Asas Saunginis (kelahiran). Jika sudah berumur 18 Th maka sudah bisa dikatakan sebagai WNI. Jika warga asing segera melakukan Naturalisasi.

Pada perjajian Gestapo (Gerakan 30 September) terjadi prjajian antara dua Negara ini (Cina dg Indonesia). Maka sejak saat itu hubungan Indonesia dengan Cina menjadi memburuk dan tidak mengakui warga Cina yang tinggal di Indonesia. Mulai sebelum merdeka => Th 58 =>Th 65 (Orba) => sampai sekarang, maka otomatis dokomen-dokomen itu praktis mati, hilang. Karena terjadi berbagai maam perubahan dalam proses Kependuduka

Bagi orang Cina yang stetles, otomatis dia tersingkir dari sector formal, yang membutuhkan KTP, KK dll. Sekolah negeripun juga tidak bisa menampung mereka, hanya beberapa sekolah yang bisa mnampung mereka.

Reflektif


Pengertian gerakan social




“Satu Potong Jerami”







Ikatan primodial












Prosedur pengurusan KTP bagi warga Etnis Tionghoa



UU 3258-No 12 Th 2006


Perda No 2 Th 1997






Konsep Clifford Geertz dalam buku Santri, Abangan, Priyayi. Karena stetles mereka menjadi liar, maksudnya menjadi pribumi jawa




Cina miskin



Pekerjaan Cina miskin






Konflik antara Etnis Tionghoa lapisan atas dengan lapisan bawah





Orang cina itu kaya suka nyogok





Latar belakang sejarah




Pada Th 1958 UU Kewarganegaraan Indonesia berubah




Perjajian Gestapo




Tersingkir dari sector formal

Jumat, 24 Oktober 2008


Peneliti/ pewawancara

Tidak ada komentar: