Jumat, 31 Oktober 2008

TEMUAN DAN ANALISIS DATA

A. TEMUAN DATA

1. Latar Belakang

Yayasan Forum Lintas Agama (FLA) Jawa Timur dilahirkan dari konstruksi sosial-budaya-keagamaan yang cukup panjang. Walaupun secara de jure, usia Yayasan FLA Jawa Timur memang relatif muda (2001), tetapi secara de facto, Yayasan FLA telah ada cukup lama. Tepatnya pasca tragedi Situbondo (1996). Pada saat itu terjadi konflik horizontal antar umat beragama yaitu Islam dan Kristen. Dalam tragedi itu tercatat setidaknya 8 gereja terbakar, dan seorang pendeta beserta keluarganya meninggal dunia setelah sekelompok massa membakar tempat tinggalnya. Secara tidak langsung konflik Situbondo tersebut membawa hikmah tersendiri bagi bertemunya berbagai tokoh agama sekaligus menjadi embrio lahirnya Yayasan Forum Lintas Agama Jawa Timur (YFLA).

2. Sejarah Lahirnya YFLA Jatim

Pertama, secara umum, para tokoh agama di Jawa Timur telah berhasil mengembangkan budaya dialog agama-agama yang belum pernah ada sebelumnya. Model forum-dialog yang telah berjalan memang telah relatif mapan. Namun, budaya dialog agama-agama seharusnya tidak hanya terbatas pada tingkat elite saja. Justru, yang lebih penting adalah, bagaimana mentransformasikan budaya dialog ini di tingkat akar rumput. Sebab, dalam banyak kasus, konflik politik sering kali muncul dengan menggunakan sentimen agama. Ujung-ujungnya, sebagai trigger-of-nya adalah kelompok grass-root tadi. Untuk ini diperlukan kelembagaan dan tim yang kuat.

Kedua, Persoalan kesenjangan sosial, ekonomi, budaya, politik dan lainnya, tidak cukup hanya dilakukan dan diselesaikan melalui forum dialog saja. Disamping perlu adanya program-program karitatif juga perlu adanya program-program komprehensif dan simultan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan riel diatas.

Ketiga, perlu sistem managemen dan administrasi kerja yang lebih profesional dan sistematis. Maka, realitas ini menuntut sebuah wadah formal yang secara normatif hukum diakui.

Maka, atas dasar kebutuhan di atas, pada tanggal 27 Maret 2001, para tokoh agama mendeklarasikan dibentuknya wadah bersama secara legal-formal yang diberi nama; Yayasan Forum Lintas Agama (FLA) Jawa Timur.

3. Visi dan Misi

Visi Yayasan Forum Lintas Agama (FLA) Jawa Timur adalah terciptanya tata kehidupan masyarakat yang harmonis, rukun, damai dalam iklim kebersamaan dan keberagaman antar suku, agama dan ras di jawa Timur.

Misi

  1. Meningkatkan kesadaran masyarakat menuju relasi yang penuh kebersamaan dan keragaman antar suku, agama dan ras di Jawa Timur melalui pendidikan dan penguatan masyarakat berbasis agama.
  2. Memperkuat organisasi-organisasi interfaith dan kelompok-kelompok agamawan strategis dalam memperjuangkan keharmonisan dalam iklim kebersamaan dan keberagaman antar suku, agama dan ras di Jawa Timur
  3. Melakukan kajian dan pemberdayaan di bidang pluralisme agama, suku dan ras di Jawa Timur.
  4. Mengembangkan jaringan antar LSM-LSM interfaith di Jawa Timur dalam rangka penyebaran informasi tentang kemajemukan (pluralisme) di Jawa Timur

4. Sumber Dana

Funding resources yang selama ini mensupport program-program FLA dapat dikatagorikan dalam (1) Funding lokal (Bakesbang, Biro Kesra Pemprov. Jawa Timur) dan (2) Funding Internasional (Catholic Relief Service/CRS, Yayasan TIFA, Common Ground/CGI, dan Patnership for Government Reform).

5. Program-Program Strategis

  1. Program Peace Building (PB) (Program ini berkonsentrasi pada pengembangan konsep dan kerja-kerja perdamaian, khususnya perdamaian berbasis local community)
  2. Program Capacity Building (CB) (Bertujuan untuk meningkatkan kapasitas lembaga dalam melaksanakan program-program pelayanan kepada masyarakat sesuai basis isu masing-masing)
  3. Program Desiminasi Pluralisme (Diupayakan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai nilai pluralisme)
  4. Program Pendidikan Multikultural (Difokuskan pada upaya peningkatan pemahaman masyarakat mengenai keberagaman yang ada di masyarakat)
  5. Program Penguatan Kesetaraan Gender Berbasis Agama (Program ini bertujuan untuk ikut serta membongkar bias pemahaman mengenai hubungan laki-laki dan perempuan yang ada di masyarakat berbasis agama) Program Advokasi (Menetapkan advokasi pada kasus diskriminasi kebijakan atas hak warga dalam kebebasan beragama)

Susunan Pengurus Yayasan FLA Jatim

Dewan Board

Koordinator : Dr KH Ali Maschan Moesa,MSi.

Anggota : Romo Eko Budi Susilo, Pr.

Pdt. Simon Filantropha.

Alip Tojo,

Irwan Pontoh.

I Wayan Suwarna.

Gatot S. Santoso.

Basuki


Dewan Eksekutif

Direktur : Drs. A. Rubaidi, MAg.

Wadir : Mashuri, MA.

Keuangan : Ely Rosidah, MPd

Divisi-divisi

Capacity Building : Yeni Lutfiana

Peace Building : Tri Pitono Adiprabowo, SE

Advokasi : Mohammad Sholeh, SH

Gender : Amin Hasan, M.Pd.

Data & Informasi : Ali Maskyur, M.Pd.

6. Isu Politik

Isu politik awalnya berkembang berkembang pada permasalahan kewarganegaraan. Pada awalnya permasalahan kewarganegaraan bukan suatu masalah bagi negara. Sebelum Indonesia merdeka ada hukum negara yang disebut sebagai “Hukum Kaula Negara” (Hak Residu Pasif), pada saat itu hukum kewarganegaraan terbuka bebas, persyaratan menjadi warga Negara cukup mengakui “saya sebagai WNI” dengan berkata demikian maka sudah menjadi WNI.

Pada zaman Reformasi etnis Tionghoa sudah dapat pengakuan dari pemerintah, tetapi itu hanya formalitas. Buktinya sampai sekarang banyak yang belum mendapat pengakuan dari pemerintah. Misalnya dalam pengurusan surat-surat, selalu dipersulit. Pemerintah sudah mengesahkan dan UU pun sudah dibuat tetapi kebawahnya belum terealisasi secara tepat dan benar. Mereka dipersulit oleh birokrasi Negara.

Selain itu permasalahn Etnis Tionghoa yang paling banyak yaitu permasalahan dalam pengakuan kependudukan. Negara tidak memberikan kartu kependudukan kepada kebanyakan Etnis ini karena sulitnya mengurus mulai dari RT sampai Pemkot. Dalam mengurus kartu identitas atau KTP setidaknya mempunyai Surat Migrasi, Paspor, atau surat yang memperkuat keberadaan mereka. Padahal mereka sudah tinggal di Indonesia sudah dari kakek buyut mereka sekitar sebelum zaman kemerdekaan. Sehingga mereka binggung jalan memperoleh identitas ini dari mana. Mereka mengakui dirinya sebagai warga Indonesia, hanya saja mereka berasal dari Etnis Tionghoa sehingga mayoritas dari mereka beragama Konghucu yang di Negara Indonesia agama ini tidak diakui. Negari Indonesia hanya mengakui 5 Agama (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha), tetepi di Fla mengakui 9 Agama/Kepercayaan (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu, Aliran Tao, Kristen Jendela, dan Aliran-aliran kepercayaan). Agama / kepercayaan itu urusannya dengan tuhan, maka sebagai manusia sebenarnya tidak pantas mengatur-ngatur orang dalam beribadah.

Pada intinya permasalahan yang dihadapi oleh Etnis Tionghoa yaitu: 1) Negara tidak mengakui keberadaan mereka, 2) Sistem yang tidak dibangun dalam aparat-aparat birokrat. Maka fungsi dari keberadaan Fla yaitu mempengaruhi pemerintah, menemani mereka dalam pengurusan surat-surat, sosialisasi yang di manapun (media), memotifasi mereka agar tidak mudah putus asa, mengalokasi ke undang-undang.

Aparat birokrat juga ikut mewarnai adanya isu politik dalam masalah stateless masyarakat Tionghoa. Bagi orang Tionghoa yang kaya hal ini tidak bermasalah, mereka bisa membeli aparat birokrat untuk membuatkan kartu identitas. Mereka bisa membayar sekian juta untuk mendapatkan kartu identitas.

Selama ini dalam permasalahn perkawinan antar Etnis Tionghoa tidak ada permasalahan, hanya saja mereka sering dianggap sebagai pasangan kumpul kebo oleh masyarakat, karena tidak memiliki bukti pernikahan yang sah. Mereka sulit mendaftarkan bukti pernikahan mereka di kantor agama. Karena agama dari mereka kebanyakan Agama Konghuchu. Maka tidak jarang dari mereka harus rela merubah agamanya, yang aslinya Konghucu manjadi agama-agama yang lain demi mendapatkan kartu identitas dan pernikahan mereka dapat dicatat di kantor agama sesuai dengan aagama yang dipilih. Sering sekali kita jumpai banyak sekali orang tionghoa yang mudah sekali berganti-ganti agama, karena mereka sendiri juga sadar kalau mereka hanya etnis minoritas yang berada di tengah masyarakat mayoritas.

7. Ideologi dan Model Gerakan

Ideologi yang dijunjung tinggi oleh FLA adalah (kebersamaan, menghargai kebebasan dan keragaman, program perdamaian). FLA juga pernah menjadi panitia imlek disalah satu masjid Surabaya, pernah juga diundang di perkumpulan orang-orang Tionghoa yang berbahasa Arab, karena pada saat itu Islam masuk ke Cina tersebar di Siria.

Masyarakat Tionghoa selama menjadi teralienasi karena sampai sekarang orang Tionghoa tidak mempunyai hak kewarganegaraan padahal etnis Tionghoa tersebut tingal di Indonesia sudah turun temurun. Adanya ketimpangan kebijakan pemerintah kepada Etnis Tionghoa tersebut mengakibatkan etnis Tionghoa merasa terasing. Oleh karena itu, etnis Tionghoa mengadakan tuntutan kepada pemerintah untuk memperjuangkan nasib dan masa depan anak cucunya. Salah satu contohnya yaitu Etnis Tionghoa ingin supaya dia diakui sebagai warga negara Indonesia. Menurut Marx dalam ideologi.1 Marxisme ortodoks alienasi diri mendapat pengesahan diri dan mengenali kuasanya sendiri dalam alienasi; ia mempunyai inti kewujudan manusia, sambil kelas proletariat merasai dirinya dibinasakan oleh alienasi diri sendiri; ia melihat dalam itu sifat tidak berkuasanya dan realiti kewujudan tidak berperikemanusiaan.2 Marx tidak menolak ide sifat manusia sendiri, bahawa keperluan untuk berusaha untuk mengubah alam sekitar untuk memenuhi keperluan-keperluan manusia merupakan satu-satunya ciri dalam setiap masyarakat.3 Marx mengutarakan bahwa Manusia selalu berproses dinamik melalui masa manusia mengubahkan dan membentukkan dunia yang dia menginapi dan mendesak dirinya untuk mereka dan mencipta. Marx menekan fakta ini: “Masyarakat tidak terdiri daripada individu-individu; ia meluahkan jumlah ikatan dan hubungan di mana individu-individu menjumpai diri mereka.” Umat manusia berkaitan dengan dunia fisikal melalui tenaga pekerja; melalui tenaga pekerja, umat manusia sendiri berubah dan tenaga pekerja adalah punca hubungan-hubungan manusia dengan satu sama lain. Maka, apa yang berlaku kepada proses bekerja mempunyai pengaruh penentuan pada seluruh masyarakat.

Perjuangan etnis Tionghoa juga dipengaruhi oleh media massa. Buktinya banyak etnis Tionghoa meminta pengakuan kewarganegaraan setelah salah satu orang etnis Tionghoa memperoleh pengakuan kewarganegaraan dari pemerintah Indonesia. Menurut teori pengaruh komunikasi massa individu-individu dipercaya secara langsung dan sangat dipengaruhi oleh pesan-pesan media. Media dianggap sebagai alat yang bisa membentuk opini publik. Begitu juga perilaku itu bergantung pada proses reproduksi motorik. Motivasi bergantung pada penguatan (reinforcement). Menurut Bandura, ada tiga macam penguatan yang dapat memotivasi individu untuk bertindak, yaitu penguatan eksterna (external motivation), penguatan karena orang lain (vicarious motivation) dan penguatan diri sendiri (self motivation).4 Penguatan eksternal merupakan ganjaran yang diperoleh seseorang terhadap apa yang telah dilakukan. Penguatan karena orang lain yaitu pengutan perilaku karena adanya pengamatan perilaku orang lain yang melakukan perbuatan tertentu dan diperkuat oleh tindakan tertentu. Menurut Bandura perilaku manusia merupakan hasil dari faktor lingkungan dan faktor kognitif.

Proses dialektik antara etnis Tionghoa dengan struktur dapat dipahami melalui teori "strukturasi" Giddens daiam konteks agent dan struktur social. Kesadaran atau pola pikir individu bukanlah sesuatu yang tertutup dan terlepas dari struktur yang disadari, tapi kesadaran yang mengarah dengan melibatkan objek. Demikian pula tindakan etnis Tionghoa sebagai 'agency' selalu mengandalkan keterlibatan struktur sosial. Tindakan sosial tidak pemah terlepas dari struktur sosial, struktur dalam konteks tindakan sosial, dengan demikian, berperan sebagai sarana dan sumber daya 'resources bagi tindakan sosial, yang kemudian membentuk sistem dan institusi social.

Tindakan etnis Tionghoa sukar dipisahkan dari politik kekuasaan. Eksistensi kekuasaan tidak mungkin bertahan tanpa ada agen. Kekuasaan dapat mengubah medan kecendekiawan dan sebaliknya, cendekiawan juga dapat mengubah kekuasaan itu sendiri. Kunci pendekatan Gidden mengenai agen dan struktur sebagai dualitas, artinya antara agen dan struktur tidak bisa dipisahkan. Agen terlibat dalam struktur sedangkan struktur melibatkan agen. Gidden menolak struktur sebagai pemaksa terhadap agen. Agen dan struktur menjadi pusat perhatian hubungan antara habitus dan lapangan.5 Pelibatan tindakan sosial dengan struktur ini ditunjukkan Giddens melalui apa yang disebutnya sebagai "recurrent sosial practices". Proses strukturasi ini terjadi pada tingkat kesadaran praktis 'practical consciousness'. Dan pada level kesadaran ini struktur dibangun dan dilanggengkan dalam rutinisasi dan direproduksi. Gramsci dalam membedah intelektual dibagi dalam dua perspektif, yakni intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional adalah figur-figur akademikus atau orang-orang yang terlahir dari produk universitas, seperti dosen, ilmuwan, atau akademisi lainnya. Sedangkan intelektual organik, menurut Gramsci, merupakan bagian tak terpisahkan dari berbagai kelas. Karena itu, kelompok-kelompok, seperti buruh dan nelayan juga merupakan intelektual organik.

Masyarakat Tionghoa sekarang sudah banyak yang membuat organisasi sosial untuk memperjuangkan nasib etnis Tionghoa kedepan. Adanya organisasi sosial juga berfungsi sebagai alat untuk menghegemoni6 masyarakat dan sebagai alat untuk mereproduksi intelektual organik sehingga bisa memperjuangkan nasib warga Tionghoa di masa yang akan datang.. Asumsi Gramsci berbeda dengan intelektual tradisional yang cenderung berafilasi dengan kelompok dominan (seperti negara), maka intelektual organik cenderung membuka peluang untuk menciptakan resistensi yang bersifat total terhadap ide-ide kelompok dominan. Bagi Gramsci sendiri revolusi adalah proses organik yang memerlukan pengorganisasian aktifitas sadar dan kesadaran kritis teoritis. Pada umumnya Gramsci menunjuk kepada kontrol terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-sarana kebudayaan.

Menurut Gramsci cendekiawan bukanlah kelas sosial tersendiri, tetapi memiliki keterkaitan sosial di mana kegiatan yang diberi kategori intelektual mendapat tempat dalam hubungan sosial pada umumnya. James Joll secara gamblang menjelaskan bahwa hegemoni suatu kelas politis berarti bahwa kelas tersebut berhasil membujuk kelas-kelas sosial lain untuk menerima nilai-nilai budaya, politik, dan moral dari kelas itu. Kaum cendekiawan tak ditempatkan sebagai kelas tersendiri, tetapi berlaku bagi siapa saja yang melakukan perjuangan menegakkan kebenaran guna mewujudkan keadilan, kebebasan, dan demokrasi. Hadirnya kelompok intelektual yang mendukung kedudukan hegemonial kelas melalui refleksi intelektual-filosofis7

Model gerakan yang dijalankan FLA dalam menangani permasalahan disriminasi etnik Tonghoa antara lain melalui diskusi dengan pemerintah, kegiatan-kegiatan yang melibatkan lintas agama dan publikasi media massa. Misalnya dulu pernah ada kasus tentang kepemilikan KTP yang dimiliki oleh Etnis Tionghoa, dia bernama Pak Anliy. Dia merupakan aktifis, yang menuntut haknya sebagai warga Indonesia. Dia berjuang sendiri secara diam-diam membuat KTP, kemudian dia mendapatkannya. Setelah dia mendapatkannya kemudian bicara lewat media cetak/elektronik kalau dia sudah mendapatkan KTP dari pemerintah.Tentu saja Etnis Tionghoa yang lain iri melihat hal ini, mereka menuntut pemerintah untuk bersikap adil, kemudian tindakan yang dilakukan pemerintah adalah menarik kembali KTP yang dimiliki Pak Anliy. FLA ikut membantu dengan cara menjadi tim advokasi Anliy untuk mendesak pemerintah untuk mengembalikan KTP yang disita. Awalnya melalui diskusi dengan pemerintah, tapi tidak menemui jalan tengahnya, maka FLA mengambil langkah untuk mempublikasikan kasus ini lewat media massa Surya. Langkah ini agar masyarakat tahu dan menghimpun dukungan untuk Anly.

Sebenarnya dalam pengurusan kartu tanda penduduk oleh para birokrat rawan sekali terjadi komersialisasi. Karena tidak segan-segan mereka mengambil keuntungan dari bisnis ini. Sebagai wakil Negara yang baik, hendaknya bisa memfasilitasi warganya dengan berbagai macam kemudahan, sehingga tidak sampai memprofokasi pemerintahan. Mental birokrasi yang susah diajak berubah membuat mudahnya terjadi hal-hal yang bertentangan dengan UU yang suda ditetapkan oleh pemerintah.

Jika melihat secara kuantitatif jumlah diskriminasi etnik terhadap Etnik Tionghoa selalu meningkat. Sebenarnya Etnik yang berada di Indonesia ini tidak hanya Etnik Tionghoa, tetapi masih ada Etnik Arab dan India. Hanya saja mereka tidak mempunyai permasalahan dengan pemerintah, minimal jaranglah.

Sebenarnya hal yang dituntut oleh Etnis Tionghoa yaitu status sebagai kewarganegaraan (WNI). Kebanyakan dari mereka adalah masyarakat urban, yang sudah 4 keturunan. Sehingga sulit sekali melacaknya. Di Negara asal (Cina) mereka tidak diakui, sedangkan di Negara Indonesia juga tidak diakui, hanya permasalahan kartu tanda penduduk.

Jika melihat dari latar belakang sejarah sebenarnya mereka berasal dari Etnis Mancuria, yang berdagang ke Indonesia bersama dengan Etnis Arab, India dll. Etnis-etnis ini bertahan dari zaman kolonial Belanda sampai sekarang. Proses agama yang selalu dinamis mengikuti perkembangan manusia yang membuat banyak bermunculan agama-agama baru, sehingga sering menimbulkan diskriminasi di masyarakat. Adanya sentimen status budaya yang membuat mereka menjadi klompok minoritas.

Pengertian gerakan social sendiri dibagi menjadi dua yaitu gerakan social baru dan gerakan social lama. Yang dimaksud dengan gerakan sosial itu adala gerakan yang menyebabkan perubahan dari bawah menuju keatasa, sedangkan gerakan social lama ergerak pada wilayah atas saja atau bisa dikatakan sebagai anti globalisasai. Misalnya seperti ilmu “satu potong jerami” maksud dari ilmu ini adalah sepotonh jerami bisa membuat dirinya menjadi subyek yang mau bicara dulu, dalam hal ini seperti Etnis Tionghoa yang berasal dari golongan kecil atau termajinalkan bisa menjadi subyek yang mengakui keberadaannya, mau berbicara kepada orang lain, terbuka pada siapa saja. Untuk mewujudkan hal ini sangat sulit sekali mereka merasa kecil dan tidak berarti. Dengan menjadi subyek yang berani ngomong, mereka dapat menghadapi masalah yang diluar dengan kekuatannya, berani membantah. Kemudian berani melapor ke Dispendug, ke Imigrasian, sampai uji material yang ditetapkan oleh perda Th 1997.

Di dalam Etnis Tionghoa ikatan primodial antar masyarakatnya sangat bertolak, minim sekali. Kebanyakan dari mereka cuek. Sehingga banyak menimbulkan klas-klas dalam golongannya seperti : 1)Midermen (klas-klas) yang mempunyai akses politik atau kekuasaan, ada juga yang menduduki kursi parpol, tentunya mereka yang kaya. 2) Ada juga yang miskin tapi mempunyai akses, tapi akses ini juga terbatas saja. 3) Ada yang miskin, status kewarganegaraan (stateless) sulit mendapatkan persyaratan yang tidak mungkin terpenuhi, karena ribetnya birokrasi dan kurangnya biyaya. Diselesaikan seperti apapun tidak mungkin, karena paying hokum yang belum jelas sampai detik ini.

Beberapa prosedur yang harus dipenuhi dalam pengurusan KTP bagi warga Etnis Tionghoa dimulai dari mempunyai KITAP (Kartu Ijin Tetap) => KITAS (Kartu Ijin Sementara) => PASPOR => Surat Keterangan Lapor Diri (dari RRC) Sedangkan dari pihak RRC saja sudah tidak mengakui mereka sebagai warga penduduknya, sehingga mereka kebingungan memulai dari mana, selain itu juga biyaya untuk menembus mendapatkan surat-surat ini mahal sekali,Sedangkan makan saja da syukur, bagi yang miskin.

Sebenarnya dari pemerintah sudah mengeluarkan UU 3258-No 12 Th 2006. Tentang naturasi anak (perkawinan), pasti butuh Akte Nikah, sebelumnya harus punya KTP. Naturasi istri atau suami, kecuali mereka pindaha agama. Juga ada Perda No 2 Th 1997, tentang warga pemikim, sekarang sudah ganti Siat (Sistem Administrasi Kependudukan), tapi cumak buat WNI saja, sedangkan WNA masih belum jelas.

Sebenarnya tugas dari Gersos yaitu mampu menjadi subyek yang mau berbicara, minimal itu dululah, kemudian mampu mengungkapkan ketidak mampuannya, sehingga orang-orang yang berada disekelilingnya menjadi tau apa yang sebenarnya dia rasakan sebagai Etnis Minoritas, ditengan Etnis Mayoritas. Jika mencari mereka, Kebanyakan berada di daerah kota-kota tua yang berada dipesisir pantai, berada ditengah masyarakat urban, seperti di daerah Tambak Sigaran, Pasar Kembang, Genteng. Mereka kebanyakan menetap di daerah ini karena takut kena operasi, kemudian dideportasi, sedangkan didaerah seperti itu hamper tidak pernah terjadi pemeriksaan, karena masyarakat yang bertempat di sana kebanyakan masyarakat urban, yang dekat denga pabrik, atau pasarr-pasar, pemukiman kumuh, rumah padat penduduk. Sehingga dengan membaur mereka dapat tinggal aman di Indonesia, hal ini merupakan siasat mereka untuk tidak kena deportasi. Hal ini merupakan bentuk resistensi mereka. Jikapun sampai dideportase, mereka harus dideportase kemana RRC juga tidak mengakui mereka sebagai warganya, Indonesia juga. Fenomena ini sesuai dengan konsep Clifford Geertz dalam buku Santri, Abangan, Priyayi. Karena stateless mereka menjadi liar, maksudnya menjadi pribumi Jawa, tinggal dikampung kumuh, rumah padat, pasar, menjadi orang jawalah, sehingga mereka sudah tidak kelihatan seperti Etnis Tionghoa, ya seperti orang pribumi tulen.

Sejauh ini warga pribumi kota tidak melakukan resistensi terhadap Etis Tionghoa, padahal kebanyakan yang menguasai perekonomian di Negara ini Etnis Tionghoa, tapi ini tidak semua ada orang Cina yang baik tapi (brengsek), ada juga yang baik tapi nasip yang kurang baik, sehingga kita melakukan pendampingan terhadap etnis minoritas ini. Sebenarnya yang paling dominan etnis yang berada di Indonesia ini adalah Arab, Cina, India tetapi yang sering mendapatkan masalah selalu etnis Tionghoa.

Pernah terjadi konflik antara Etnis Tionghoa lapisan atas dengan lapisan bawah. Orang yang yang berada dilapisan bawah bekerja sebagai buruh di toko orang Cina yang berada dilapisan atas. Orang Cina miskin protes terhadap orang Cina kaya, karena upah yang diterimanya tidak wajar, lebih rendah dari upah pribumi yang lainnya. Bagi orang Cina kaya beranggapan, bahwa dia memperkerjakan warga ilegal tanpa status yang jelas, maka orang Cina miskin tidak bisa melawan hanya pasrah dengan nasip. Padahal mereka satu nenek moyang, tapi bagi warga Cina kaya yang penting dia untung dulu.

Sebenarnya akar permasalah ini berasal dari kesalahan Etnis Tionghoa Kaya. Mereka selalu menggunakan uang dan kekuasaan untuk melakukan pelanggaran. Apalagi mental birokrat yang mudah sekali dibeli, jadi klop/pas sudah. Menyogok sana-sini, secara tidak langsung hal ini mempraktekkan diskrisminasi. Maka dalam benak kita selalu beranggapan orang cina itu kaya suka nyogok. Padahal orang Cina miskinlah yang menerima akibat dari orang Cina kaya.

Latar belakang sejarahnya seperti ini, jika melihat kebelakang pada awalnya permasalahan kewarganegaraan, bukan suatu masalah bagi Negara. Sebelum Indonesia merdeka ada hukum Negara yang disebut sebagai “Hukum Kaula Negara” (Hak Rediu Pasif), pada saat itu hukum kewarganegaraan terbuka bebas, persyaratan menjadi warga Negara cukup mengakui “saya sebagai WNI” dengan berkata demikian maka sudah menjadi WNI. Hal ini serupa dengan Cina.

Pada tahun 1958 UU Kewarganegaraan Indonesia berubah menjadi Asas Iusoli (keturunan) dan Asas Saunginis (kelahiran). Jika sudah berumur 18 Th maka sudah bisa dikatakan sebagai WNI. Jika warga asing segera melakukan Naturalisasi. Pada perjajian Gestapo (Gerakan 30 September) terjadi perjajian antara dua Negara ini (Cina dg Indonesia). Maka sejak saat itu hubungan Indonesia dengan Cina menjadi memburuk dan tidak mengakui warga Cina yang tinggal di Indonesia. Mulai sebelum merdeka => Th 58 =>Th 65 (Orba) => sampai sekarang, maka otomatis dokomen-dokomen itu praktis mati, hilang. Karena terjadi berbagai maam perubahan dalam proses Kependudukan. Bagi orang Cina yang stateless, otomatis dia tersingkir dari sektor formal, yang membutuhkan KTP, KK dan lain-lain. Sekolah negeripun juga tidak bisa menampung mereka, hanya beberapa sekolah yang bisa menampung mereka.


1 Ideologi menurut Marx merupakan kepercayaan yang ditentukan oleh sebab-sebab materi. Intinya, gagasan-gagasan kelompok berkuasa selalu berawal dari dominasi ide, kemudian “kelompok yang menguasai kekuatan material masyarakat mengendalikan kekuatan intelektual Pemahaman kritik Hegel dalam pandangan Marx lebih bersifat filsafat idealisme. Ide-ide yang dominan atau pandangan hidup dasar itu kelihatannya merupakan kunci untuk memahami suatu masyarakat, dalam kenyataannya, ide-ide bersifat epifenomel, artinya ide-ide itu merupakan cerminan dari kondisi materiil. Lihat Doyle Paul Johnson. 1986. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Jakarta: PT Gramedia. Hal. 121. Secara umum, Eagleton mengartikan ideologi menjadi enam makna. Pertama, ideologi adalah proses material yang berhubungan dengan produksi gagasan, kepercayaan dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial. Kedua, ideologi diartikan sebagai ide dan kepercayaan (baik itu salah maupun benar) yang melambangkan keadaan dan pengalaman hidup khususnya, keterkaitan sosial kelompok atau antar golongan. Ketiga, ideologi merupakan sesuatu yang melakukan promosi dan legitimasi kepentingan beberapa kelompok sosial dalam menghadapi kepentingan yang berlawanan. Keempat, makna ideologi menitikberatkan pada promosi dan legitimasi kepentingan sektoral, namun dibatasi oleh kegiatan kekuatan sosial yang dominan. Kelima, ideologi melambangkan ide dan kepercayaan yang membantu legitimasi kepentingan kelompok khususnya oleh distorsi dan disimulasi. Keenam, ideologi menitik beratkan pada kepercayaan baik salah ataupun palsu yang berasal dari struktur material masyarakat secara keseluruhan dan tak melihat kepercayaan sebagai hal yang berkembang dari kepentingan golongan. Konsep kritik Hegel, dan Marx tersebut adalah sebagai upaya individu atau kelompok untuk memper-kritis diri. Menemukan arti sejati dari sebuah proses pengekangan, rintangan dan tekanan menuju proses kesadaran.  M Jacky. 1999, “Diskursus Cyber Nasionalisme dan Posdemokrasi : Sebuah Studi Tentang Nasionalisme Generasi Ketiga di Indonesia”. Skripsi FISIP Unair. Hal. 40


2 Judy Cox . 1998. Pengenalan kepada teori alienasi Marx. (Jurnal). (http: // arts.anu.edu.au/suara/cox2.rtf. Diakses: 11 November 2008. Pukul 15.04).

3 Ibid..

4 Heru Puji Winarso, Sosiologi Komunikasi Massa, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005.Hal. 179.

5 Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang diinternalkan. Melalui habitus individu memahami kehidupan social. Habitus dihasilkan oleh masyarakat. Lapangan adalah jaringan hubungan antara berbagai posisi obyektif. Op. Cit. George ritzert-douglas j Goodman

6 Hegemoni adalah suatu tatanan ide yang koheren dan sistematis, yang pada gilirannya membatasi pencetusan dan penyebarluasan ide-ide tandingan dalam masyarakat bersangkutan. Hegemoni dapat membuat masyarakat secara sukarela menerima kekuasaan yang dominan tanpa dipaksa. Hikam, A., 1996, Demokrasi dan Civil Society, disunting oleh Abdul Mun’im DZ, Jakarta: LP3ES.

7 Franz Magnis-Suseno. 2003. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme ke Arah Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia. Hal. 184.

1 komentar:

Gerakan Sosial mengatakan...

Saya belum menemukan ideologi yang mendasari gerakan tersebut. Secara teoritik, mungkin dicari tentang ideologi nasionalisme dan kesetaraan etnik ya!!!!!!