Senin, 20 Oktober 2008

Proposal Gerakan Sosial "Deskriminasi Etnis TIonghoa"



GERAKAN SOSIAL DISKRIMINASI ETNIS DI SURABAYA

(Studi Di Yayasan Lintas Agama Mengenai Legalitas Perkawinan

Etnis Tionghoa)



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Surabaya adalah sebuah kota yang masyarakat multikultural. Adanya keberagaman etnis tersebut mengakibatkan adanya akulturasi budaya dan adanya interaksi sosial antara etnis satu dengan lainnya. Dari hasil interaksi tersebut akan mengakibatkan adanya hubungan yang lebih intim salah satunya adalah pernikahan antar etnis seperti yang sering terjadi di kota-kota besar. Masyarakat pendatang mereka akan beradaptasi memperbaiki Persepsi Budaya yang dimiliki dengan masyarakat yang baru.[1] Persepsi budaya yang terbentuk di antara etnis yang berbeda budaya, apa lagi antara etnis pribumi dan etnis migran seperti Tionghoa tentu saja banyak yang berkonotasi negatif (buruk). Hal ini disebabkan karena world view (sistem kepercayaan, nilai-nilai dan perilaku/sikap) yang terbentuk di antara budaya sudah tidak sama. Nilai-nilai yang terbentuk di atas akan mempengaruhi perilaku/sikap seseorang individu seperti warga dari etnis Tionghoa itu diakui oleh pribumi: ulet, pekerja keras, rajin, hemat, cepat dan memiliki semangat wiraswasta yang tinggi di mana pun mereka berada.

Membangun hubungan yang harmonis merupakan suatu dambaan semua warga Indonesia tidak terkecuali etnis/sukubangsa apa orang tersebut. Sekat-sekat komunikasi yang terhambat dapat diatasi dengan adanya jalinan hubungan yang harmonis di antara etnis Tionghoa dan pribumi. Untuk sampai kepada tahap hubungan komunikasi yang harmonis salah satunya dibutuhkan kerjasama dari masing-masing etnis dengan mengubah persepsi budaya yang selama ini terbentuk, prasangka sosial yang lebih berkonotasi negatif, dan adanya jarak sosial dengan ditunjukkan melalui perilaku dalam bersikap dan berbahasa tentunya.

Masyarakat urban khususnya etnis Tionghoa juga membuat jaringan sosial.[2] Dalam konteks jaringan sosial tersebut akan terlihat bagaimana para migran[3] mengembangkan dan memelihara hubungan-hubungan social dengan sesama migran sedesa atau yang berasal dari daerah asal yang berbasis kekerabatan, ketetanggaan, pertemanan, atau campuran di antara unsur-unsur tersebut sebagai sarana untuk memperoleh sumber-sumber daya sosial dan ekonomi di kota tujuan.

Saat ini masih terdapat puluhan peraturan hukum yang diskriminatif bagi etnis Tionghoa. Setiap orang etnis Tionghoa tetap harus menunjukkan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) untuk segala urusan administratif, mulai dari tingkat kecamatan, catatan sipil, kantor imigrasi, atau bahkan mengajukan kredit di Surabaya. Tetap dengan biaya lebih tinggi daripada etnis lain. Pada beberapa kantor pembedaan biaya itu dipublikasikan secara terbuka. Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi Ras dan Etnis (RUU ADRE) yang menjadi usul inisiatif DPR RI ternyata juga masih dihambat proses pembahasannya di Departemen Kehakiman dan HAM. Menurut Kepala Subdinas Tata Usaha Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya Imam Sugondo dalam diskusi “Masih perlukah SBKRI?” mengatakan bahwa Keputusan Presiden (Keppres) No 56/1996 belum bisa diterapkan, karena belum ada surat petunjuk pelaksanaan (juklak) dari Wali Kota Surabaya.[4] Oleh karena itu, aturan dalam Staatsblad 1912 yang merupakan aturan Kolonial Belanda masih terus diterapkan

Tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh negara terealisir melalui peraturan-peraturan resmi yang dibuat pemerintah yang berkuasa. Patut diketahui ada sejumlah peraturan diskriminatif yang dibuat pemerintah Orde Baru sejak tahun 1967, dari pelarangan mempertunjukkan ritual dan kebudayaan Tionghoa di tempat-tempat umum, pelarangan mendirikan sekolah dan penerbitan berbahasa Tionghoa, sampai kepada anjuran untuk mengganti nama dan berasimilasi.[5] Hal ini belum termasuk peraturan-peraturan diskriminatif yang berlaku secara terbatas dalam bidang-bidang tertentu, seperti perbankan dan ekspor-impor. Walau ada peraturan yang sudah dicabut oleh pemerintahan Abdurahman Wahid, yaitu peraturan mengenai pelarangan kebudayaan, namun masih banyak yang tetap berlaku sampai hari ini.

Diskriminasi etnis Tionghoa tidak sebatas pada bidang-bidang tersebut, hal ini juga terjadi pada masalah legalitas perkawinan. Sebut saja kasus di dekade 90-an ketika perkawinan sepasang kekasih Konghucu asal Surabaya yang sampai mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi PTUN, karena kantor catatan sipil menolak mencatatkan perkawinan mereka.[6] Pasca pengesahan UU Kewarganegaraan 11 Juli lalu di Surabaya berembus kabar tidak menyenangkan, terkait keharusan pencantuman nama marga dalam akta perkawinan bagi etnis Tionghoa. Masalah ini sampai dibahas di Komisi A DPRD Surabaya 27 Juli lalu bersama Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Kusnowihardjo dan para tokoh Tionghoa Surabaya. Padahal di pemerintahan kota atau kabupaten lain, kebijakan ini sudah ditiadakan.[7]

Yayasan Lintas Agama Jatim, yang sebelumnya dikenal dengan nama Forum Lintas Agama Jatim (FLA), sebagai suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berusaha menghapus diskriminasi rasial yang melibatkan etnis Tionghoa dalam mendapatkan legalitas perkawinan pada birokrasi pemerintahan kota Surabaya.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimana gerakan sosial Forum Lintas Agama melawan diskriminasi tentang legalitas perkawinan etnis Tionghoa serta dampaknya bagi kehidupan sosial etnis Tionghoa?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian pada penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami gerakan sosial yang dilakukan Forum Lintas Agama melawan diskriminasi tentang legalitas perkawinan etnis Tionghoa serta dampaknya bagi kehidupan sosial etnis Tionghoa.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dibagi menjadi dua yaitu pertama, secara teoritis memperkaya kajian teori tentang gerakan sosial melawan diskriminasi ras dan etnis. Kedua, secara praktis sebagai rumusan pemerintah untuk memberi konstribusi atau mengambil keputusan dalam menentukan kebijakan bagi ketentraman dan kelangsungan hidup masyarakat etnis Tionghoa.



BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Karl Marx

Ada beberapa unsur dalam teori kelas Karl Marx yang perlu diperhatikan,[8] yaitu: Pertama, tampak betapa besar peran segi struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas. Pertentangan antara buruh dan majikan bersifat obyektif karena berdasarkan kepetingan obyektif yang ditentukan oleh kedudukan mereka masing-masing dalam proses produksi. Kedua, karena kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh secara obyektif bertentangan, mereka juga akan mengambil sikap dasar yang berbeda terhadap perubahan sosial. Kelas pemilik dan kelas-kelas atas pada umumnya mesti bersikap konservatif, sedangkan kelas buruh dan kelas-kelas bawah pada umumnya akan bersikap progresif dan revolusioner.

Unsur ketiga adalah setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi. Kepentingan kelas bawah yang sudah lama ditindas mendapat angin, kekuasaan kelas penindas mesti dilawan dan digulingkan. Apabila kelas bawah bertambah kuat, kepentingannya akan mengalahkan kepentingan kelas atas, jadi akan mengubah ketergantungannya dari para pemilik dan itu berarti membongkar kekuasaan kelas atas. Marxisme yakin bahwa semua reformasi dan usaha perdamaian antara kelas atas dan kelas bawah hanya menguntungkan kelas atas karena mengerem perjuangan kelas bawah untuk membebaskan diri.[9]

Menurut Marx, negara bukanlah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Dalam perspektif Marx, negara termasuk lawan, bukan kawan, karena diangap selalu merupakan negara kelas yang mendukung kepentingan-kepentingan kelas-kelas penindas.[10]

B. Gerakan Sosial dalam Perspektif Pertukaran

Gerakan sosial dalam perspektif Marx adalah sama halnya dengan gejala alam, sesuatu itu adalah proses aksi dan reaksi. Bila ada aksi, maka ada reaksi.[11] Begitu pula dengan gerakan sosial, kondisi-kondisi di luar individu dan komunitas yang dirasakan sama akan menimbulkan reaksi dengan membentuk gerakan sosial. Namun demikian, kondisi-kondisi itu tidak serta merta menghasilkan gerakan sosial. Ketidaksetaraan, ketidakadilan dan masalah-masalah sosial itu harus diperpektifkan secara sama oleh individu dan masyarakat. Bila tidak, maka tidak terjadi gerakan sosial. Demikian pula, kondisi-kondisi yang mendukung atau menolak terjadinya reaksi harus pula diperspektifkan secara sama pula.



BAB III

METODE PENELITIAN

A. Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tujuan untuk mendeskripsikan latar dan interaksi yang kompleks dari partisipasi secara mendalam. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi yaitu penelitian yang memahami makna suatu fenomena secara lebih mendalam dan menyeluruh. Fenomenologi juga dapat diartikan sebagai pengalaman subjektif, suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok seseorang.

Alasan metodologis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pertama menyesuaikan metode kualitatif ini lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, kedua metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara penelitian dengan informan, ketiga metode ini lebih peka dan dapat menyajikan diri dengan baik penajaman pengaruh bersama dan pola-pola nilai yang dihadapi.[12]

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di YLA (Yayasan Lintas Agama/FLA) Jl. Gayungsari Barat VI No.3 Surabaya. Adapun alasan metodologis untuk menentukan LSM tersebut karena menangani masalah diskriminasi etnis Tionghoa dan berhubungan dengan penelitian teori-teori yang akan diteliti oleh peneliti untuk memenuhi Mata Kuliah Gerakan Sosial. Penelitian ini akan dilakukan pada tanggal 22 Oktober-8 November 2008 selama 2 minggu 5 hari.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian atau dalam penelitian kualitatif lebih dikenal dengan istilah informan diambil dari para pengurus dan anggota YLA Surabaya. Subyek diambil dengan metode purposive yaitu subjek yang dipilih dengan sengaja. Dalam hal ini subjek dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, sedangkan pertimbangan yang diambil itu berdasarkan tujuan peneliti.[13] Subjek tidak ditentukan sebelumnya dan dari mana atau dari siapa memulai tidak menjadi persoalan karena pemilihan bergantung pada keperluan peneliti.[14] Beberapa orang akan diambil sebagai subjek baik untuk diobservasi maupun untuk diminta keterangan melalui wawancara.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti pemanfaatan data primer. Pemanfaatan data primer dibagi menjadi dua yaitu observasi dan wawancara. Pertama adalah teknik observasi atau pengamatan, dimana teknik ini dilakukan pertama kali pada penelitian ini. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan pengamatan terhadap perilaku sosial yang dilakukan oleh subjek penelitian.

Hal pertama yang dilakukan pada proses pengamatan ini adalah datang ke daerah penelitian, kemudian peneliti mengambil foto tentang daerah penelitian. Pada proses pengamatan ini juga membedakan dan memilih subjek penelitian, proses inilah yang membantu peneliti untuk menetapkan subjek penelitian yang nantinya akan dilakukan proses selanjutnya, yaitu proses wawancara. Indeepth interview adalah teknik yang kedua, merupakan bentuk wawancara secara mendalam mengenai masalah yang akan diteliti agar memperoleh kedalaman, kekayaan dan kompleksitas data. Dalam melakukan indeepth interview, peneliti akan melakukan hal-hal sebagai berikut : (1) Getting In, berupa adaptasi peneliti agar bisa diterima dengan baik oleh subjek penelitian. Dalam proses ini peneliti diharapkan dapat menciptakan situasi nonformal atau kekeluargaan sehingga peneliti dapat mengupayakan untuk menciptakan kepercayaan trust terhadap subyek penelitian. Apabila kepercayaan trust sudah tercipta maka akan sangat mudah bagi peneliti untuk menggali informasi sedalam-dalamnya dari informan. (2) Setelah trust terbentuk, peneliti harus menjaganya dengan melakukan beberapa hal, diantaranya berperilaku dan berpenampilan sama seperti subjek penelitian. Jika kedua hal tersebut di atas dapat berjalan dengan baik maka tercipta rapport yaitu nilai yang diberikan dari subjek penelitian, terhadap peneliti sehingga informasi dapat dengan mudah diperoleh.

Untuk lebih mudah mendapatkan subjek penelitian, langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti adalah mencari key informan atau informasi kunci, dari key informan tersebut peneliti memperoleh informasi mengenai kondisi sosial ekonomi subjek atau informan yang akan diteliti, setelah itu key informan diharapkan dapat menunjuk subjek penelitian atau informan lain yang mempunyai keadaan sama untuk membantu memberikan informasi yang dibutuhkan dan hal tersebut diberlakukan untuk mencari informan selanjutnya (snowball sampling).

E. Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan oleh peneliti adalah fenomenologi. Fenomenologi merupakan salah satu metode analisis teknik kualitatif. Dalam fenomenologi ini tidak lepas dari verstehen yang dikemukakan oleh Max Weber. Vestehen merupakan cara pemahaman atau pemaknaan terhadap sebuah fenomena. Vestehen juga digunakan untuk menghilangkan subjektivitas terhadap data yang telah ditemukan oleh peneliti.

Langkah-langkah yang akan dilakukan adalah membaca kembali hasil yang telah diperoleh dari lapangan, setelah itu data dikategorikan ke dalam aspek-aspek yang telah dikemukakan. Setelah dikategorikan, data yang ada dikaitkan dengan teori yang ditulis di Bab II. Langkah selanjutnya adalah berdiskusi dengan kelompok tentang data yang diperoleh untuk menentukan pokok permasalahan yang harus dimasukkan ke dalam laporan penelitian. Sehingga mampu menemukan istilah-istilah baru dalam masalah-masalah sosial yang diteliti, kemudian peneliti akan menemukan serta memahami makna yang sebenarnya dari permasalahan itu dan setelah itu peneliti akan merumuskan hasil penelitian dengan menceritakan proses dari penelitian dan membuat laporan penelitian.


DAFTAR PUSTAKA

Ju Lan, Thung. 2006. Prasangka dan Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa . (Online). http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/2912. Diakses: 19 Oktober 2008).

Lembaga Kajian Agama & Sosial (LKAS).2007. Contohlah Gerakan Multi-etnis di Surabaya. (Online). (http: // www.lkassurabaya.blogspot.com. Diakses: 19 Oktober 2008).

Lubis, Lusiana A.. Menjembatani Sekat Komunikasi Antara Tionghoa dan Pribumi. (Online). (http//: www. menjembatani-sekat-komunikasi-antara.html).

Magnis-Suseno, Franz. 2000. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mahfud, Choirul. SBKRI dan Diskriminasi Etnis di Surabaya. (Online). (http: // www.lkassurabaya.blogspot.com. Diakses: 18 Oktober 2008).

Moleong, Lexy J..2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Setyaningrum, Puji. 2007. Kultur dan Struktur Masyarakat Desa Sidorejo, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan. Disertai tidak diterbitkan. Surabaya: Prodi Sosiologi UNESA.

Singarimbun, Masri & Sofian Effendi. 1989.Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Sri Sadewo, FX.. 2008. Gerakan Sosial FIS-Unesa TA 2008. (Online). (http: //socmovement-unesa.blogspot.com. Diaskes: 19 Oktober 2008).

http//www.search.htm



[1]Persepsi selalu diartikan sebagai proses di mana setiap individu mencoba mempertahankan hubungan dengan dunia di sekitarnya, karena individu tersebut mempunyai kemampuan untuk mendengar, melihat, mencium, menyentuh dan merasa. Kita dapat merasakan apa yang ada di sekitar kita, kita juga dapat menyadari apa yang terjadi di sekitar kita atau di luar kita. Sebenarnya apa yang kita lakukan adalah menciptakan citra dalam segi fisik dan objek sosial dari peristiwa yang kita temukan dalam lingkungan sosial menjadi pengalaman dan pengetahuan yang penuh arti. Lusiana A. Lubis
Menjembatani Sekat Komunikasi Antara Tionghoa dan Pribumi dalam http//: www. menjembatani-sekat-komunikasi-antara.html

[2]Menurut Mitchell jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan-hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang, di mana karakteristik hubungan-hubungan tersebut dapat digunakan untuk menginter -pretasikan motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam kenyataan kehidupan, jaringan sosial ini sedemikian kompleks dan saling tumpang-tindih atau saling memotong satu sama lain. Sehingga Barnes (1969), mem-bedakan adanya dua macam jaringan sosial, yaitu jaringan sos ial menyeluruh dan jaringan sosial parsial. Jaringan sosial menyeluruh adalah keseluruhan jaringan yang dimiliki individu-individu dan mencakup berbagai konteks atau bidang kehidupan dalam masyarakat. Jaringan sosial parsial adalah jaringan yang dimiliki oleh individu-individu terbatas pada bidang-bidang kehidupan tertentu, misalnya jaringan politik, ekonomi, keagamaan, dan kekerabatan. Lihat http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Jaringan%20Sosial%20Migran%20Sirkuler.pdf.

[3]Migrasi adalah pergerakan penduduk secara geografis, atau perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain. Hugo membedakan migrasi dalam dua kategori, yaitu migrasi permanen dan non permanen. Perbedaannya terletak pada tujuan pergerakan tersebut. Bila seorang migran bertujuan untuk pindah tempat tinggal secara tetap, migran tersebut dikategorikan sebagai migran permanen, sebaliknya bila tidak ada niat menetap di tempat tujuan dikategorikan sebagai migran sirkuler. Mantra menambahkan satu lagi bentuk yang disebut komutasi (nglaju), yaitu per-gerakan penduduk yang dilakukan dengan cara pergi ke tempat kerja dan pulang ke rumah pada hari yang sama. Berbeda dengan migrasi permanen yang memboyong seluruh anggota keluarganya dan menetap di daerah tujuan, migrasi sirkuler adalah migran, yang meskipun bekerja di tempat tujuan, tetapi umumnya keluarga masih teta p tingggal di desa. Dikatakan Jellinek (1986), bahwa migran sirkuler adalah migran yang meninggalkan daerah asal hanya untuk mencari nafkah, tetapi mereka menganggap dan merasa tempat tinggal permanent mereka di tempat asal, di mana terdapat isteri, anak, d an kekayaannya. Mantra (1995) mengungkapkan, bahwa kunjungan pelaku migrasi sirkuler ke daerah asal dapat bersifat periodik dan insidental. Lihat http//www.search.htm

[4]Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan RI Pasal 1 disebutkan, bahwa “Istri dan anak yang berusia di bawah delapan belas tahun dari seseorang yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan, langsung ikut serta menjadi warga negara RI mengikuti kewarganegaraan suami/ayahnya tersebut.” Lihat: Choirul Mahfud. SBKRI dan Diskriminasi Etnis di Surabaya. (Online). (http: // www.lkassurabaya.blogspot.com. Diakses: 18 Oktober 2008).

[5]Thung Ju Lan. 2006. Prasangka dan Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa . (Online). http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/2912. Diakses: 19 Oktober 2008).

[6]Lembaga Kajian Agama & Sosial (LKAS).2007. Contohlah Gerakan Multi-etnis di Surabaya. (Online). (http: // www.lkassurabaya.blogspot.com. Diakses: 19 Oktober 2008).

[7] Ibid..

[8]Franz Magnis-Suseno. 2000. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal.117.

[9] Ibid..Hal.119.

[10] Ibid..Hal.121.

[11]FX. Sri Sadewo. 2008. Gerakan Sosial FIS-Unesa TA 2008. (Online). (http: //socmovement-unesa.blogspot.com. Diaskes: 19 Oktober 2008).

[12]Puji Setyaningrum. 2007. Kultur dan Struktur Masyarakat Desa Sidorejo, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan. Disertai tidak diterbitkan. Surabaya: Prodi Sosiologi UNESA. Halaman 11.

[13]Masri Singarimbun & Sofian Effendi. 1989.Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Halaman 169.

[14]Lexy J. Moleong.2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Halaman 165-166.

Tidak ada komentar: